Oleh: Renal
Namun, sudahkah Indonesia benar-benar Merdeka? Sudahkah bangsa kita terbebas dari kontrol eksternal? Sudahkan bangsa kita lepas dari ketergantungan pihak lain? Atau justru kemerdekaan hanyalah bualan politisi belaka untuk memanipulasi rakyatnya? Apakah ‘Merdeka!’ yang diteriakkan pada 17 Agustus adalah sesuatu yang dirasakan segenap masyarakatnya? Ataukah merupakan simbol kolonialisme baru?
Esok hari, dari pagi hingga malam, platform media sosial kita akan dibanjiri banyak berbagai informasi tentang hari kemerdekaan. Mulai dari upacara bendera, lomba agustusan, malam tirakatan, gerak kompak anggota paskibraka, dan lain sebagainya. Apapun bentuknya, yang jelas berbagai informasi tersebut menjadi tanda kegembiraan atau kesenangan, alias euforia.
Lengkap sudah usia Indonesia yang ke 79 tahun sejak diproklamasikannya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 silam. Menurut hemat saya, angka ini bertambah secara matematis. Namun dari aspek teologis justru sebaliknya, yang berarti hakikat bertambahnya angka adalah penurunan “jatah” yang sudah ditentukan oleh Tuhan hingga kiamat. Kendati demikian, tetaplah wajar jika banyak pihak yang koar-koar tentang sejarah perjuangan para pahlawan mendapatkan kemerdekaan.
Kemerdekaan berasal dari bahasa sansekerta 'Mahardika', yang artinya arif, bakir, berakal, berilmu, berpendidikan tapi juga sekaligus luhur, mulia, dan berbudi. Oxford English Dictionary (OED) sebagai salah satu rujukan utama terminologi bahasa Inggris mendefinisikan kemerdekaan sebagai “The condition or quality of being independent freedom from external control or influence; lack of reliance”. Yang kira-kira artinya sebuah kondisi atau kualitas menjadi independen, bebas dari kontrol atau pengaruh eksternal, alias minimnya kebergantungan.
Benedict Anderson dalam bukunya yang berjudul Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (1983) menjelaskan bagaimana nasionalisme tersebut dibangun
Terminologi diatas merepresentasikan sejarah yang terlah berlalu 79 tahun. Periode tersebut menjadi momentum terusir-nya pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Episode sejarah baru dimana bangsa kita mulai tidak bergantung secara konstitusional pada pemerintahan sebelumnya. Oleh sebab itu, euforia dan selebrasi besar-besaran yang terjadi hari ini menjadi simbol pengingat atas sejarah lahirnya Indonesia.
Namun, sudahkah Indonesia benar-benar Merdeka? Sudahkah bangsa kita terbebas dari kontrol eksternal? Sudahkan bangsa kita lepas dari ketergantungan pihak lain? Atau justru kemerdekaan hanyalah bualan politisi belaka untuk memanipulasi rakyatnya? Apakah ‘Merdeka!’ yang diteriakkan pada 17 Agustus adalah sesuatu yang dirasakan segenap masyarakatnya? Ataukah merupakan simbol kolonialisme baru?
Tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan yang menghujani pikiran saya. Karena itu untuk melacak sejauh apa arti kemerdekaan tidak mungkin dilakukan tanpa membeberkan kondisi faktual Indonesia hari ini.
Doktrin Nasionalisme
Sepanjang bulan Agustus terdapat himbauan yang mewajibkan pengibaran bendera Merah Putih di depan rumah masing-masing. Pemasangan bendera ini diatur dalam UU No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Tentunya hampir semua masyarakat Indonesia menjalankan hal ini. Barangkali di halaman rumah kalian terpampang bendera merah-putih bermotif Soekarno.
Selain itu, pasti diadakan upacara bendera di tanggal 17 Agustus di setiap daerah seluruh Indonesia. Barangkali juga kalian ikut menjadi peserta pengibaran bendera yang sakral itu. Hal ini menjadi agenda puncak bulan Agustus, disamping banyak embel-embel serangkaian lain di tanggal yang berbeda.
Baik pemasangan bendera di rumah masing-masing maupun upacara 17-an mengimplikasikan sebuah ideologi yang dinarasikan pemerintah, yaitu Nasionalisme. Secara sederhana dari fenomena ini, saya tarik proposisi¬ (model universal afirmasi) yang berbunyi “barangsiapa ikut merayakan hari kemerdekaan maka ia seorang yang memiliki jiwa nasionalis. Seorang yang berjiwa nasionalis dengan sendirinya menegaskan identitas kebangsaannya”. Hal ini jika dibuat antitesis-nya menjadi proposisi yang negatif berupa penolakan akan paham nasionalisme, yang artinya tidak ikut merayakan kemerdekaan.
sebuah komunitas disatukan melalui ideologi yang berangsur-angsur disebarkan hingga tertanam di kesadaran subyek
Benedict Anderson dalam bukunya yang berjudul Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (1983) menjelaskan bagaimana nasionalisme tersebut dibangun. Menurutnya, sebuah komunitas disatukan melalui ideologi yang berangsur-angsur disebarkan hingga tertanam di kesadaran subyek. Hal ini jelas dalam sejarah Indonesia terdapat catatan yang menggambarkan penyatuan tersebut, yakni Sumpah Pemuda. Penyatuan ini dikonstruksi secara sosial, dibayangkan oleh orang yang memandang dirinya sebagai bagian dari kelompok tersebut.
Kendati penyatuan itu berhasil, Anderson menggarisbawahi bahwa anggota terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan mengenal sebagian besar anggota lain, tidak bertatap muka dengan mereka, bahkan mungkin tidak pernah mendengar tentang mereka yang jauh disana. Itulah mengapa nasionalisme diistilahkan sebagai “komunitas-komunitas terbayang”. Inilah keluarga besar yang diberi nama Bangsa Indonesia. Bahkan saking dahsyatnya nasionalisme, orang rela mati demi sesuatu yang dibayangkan (hal ini persis dengan adagium Jawa senyari bumi, ditohi pati).
Saya sendiri tidak ada masalah dengan nasionalisme. Yang menjadikan bermasalah ialah ketika ideologi ini dijadikan kedok semata untuk mengambil keuntungan pribadi maupun kelompoknya. Dengan kata lain, penyatuan bangsa-bangsa merupakan bagian gerakan politis yang memiliki tujuan terselubung. Disamping menjadikan media sebagai wilayah empuk untuk menyebarkan kekuasaan.
Upacara Kemerdekaan dan Nasionalisme merupakan bentuk “agen kebudayaan” yang bertujuan melegitimasi tindakan eksploitatif
Kita lihat besok, upacara HUT Kemerdekaan RI dilakukan di dua tempat berbeda, yakni Ibu Kota Nusantara (IKN) dan Halaman Istana Merdeka, Jakarta. Pemerintah menggelontorkan dana sebesar 87 Miliar Rupiah untuk agenda ini yang diambil dari APBN. Tentunya ini biaya yang besar untuk sekedar melaksanakan agenda yang hanya dilakukan sehari. Disamping merampas hutan adat Kalimantan, serta kemiskinan struktural yang menyebar di seluruh wilayah.
Jangan lupa bahwa presiden kita yang terhormat memindahkan ibukota secara tiba-tiba (tidak tercantum dalam janji kampanye). Keputusan pemindahan ini juga tidak didasarkan pertimbangan ekologis mengenai kondisi hutan Kalimantan, disamping mengabaikan partisipasi Masyarakat Adat yang beribadah didalamnya. Indonesia Merdeka? Ini adalah dua kata lucu. Sebab, apa arti dari kemerdekaan jika dilakukan dengan cara me marjinalisasi Masyarakat Adat. Belum lagi soal dana yang besar, di sisi lain utang negara meningkat, aaahhh mbuh lah.
Atau jangan-jangan, meminjam istilah Wijaya Herlambang, Upacara Kemerdekaan dan Nasionalisme merupakan bentuk “agen kebudayaan” yang bertujuan melegitimasi tindakan eksploitatif. Dua hal tersebut sengaja dirayakan dengan bangga hanya untuk melupakan fakta hari ini. Rakyat dibuat senang, jika sudah, mereka akan rampas segalanya.
Sekilas tampak pengabaian pemerintah terhadap fakta yang demikian timpang. Narasi-narasi kemerdekaan hanya menjadi jubah pelindung atas keadaan yang jauh dari kata Merdeka.
Sekilas tampak pengabaian pemerintah terhadap fakta yang demikian timpang. Narasi-narasi kemerdekaan hanya menjadi jubah pelindung atas keadaan yang jauh dari kata Merdeka. Dengan demikian, nasionalisme pula menjadi semacam senjata ampuh untuk menjinakkan dan mengaburkan fakta tersebut. Sebab, bagaimana mungkin antar anggota keluarga “saling bunuh”. Melalui nasionalisme Indonesia ‘menjajah’ Masyarakat adat. Yaaaa, nasionalisme adalah doktrin terselubung.
Sekian….
Tulisan ini akan bersambung di part selanjutnya….