Otokritik Nilai Dasar Pergerakan PMII

 Otokritik Nilai Dasar Pergerakan PMII


Nilai Dasar Pergerakan (NDP) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sudah kita dengar sejak mengikuti Masa Penerimaan Anggota Baru (Mapaba), sebuah kaderisasi formal yang menjadi pintu masuk anggota PMII. Ini menjadi materi wajib di jenjang kaderisasi formal awal hingga akhir (Mapaba, PKD, PKL dan PKN). Selain itu, karena menjadi pusat argumentasi dan pengikat kebenaran dari kebebasan berfikir, berucap, bertindak dalam aktivitas pergerakan, materi NDP sudah sewajarnya menjadi rujukan dalam kaderisasi non-formal maupun informal. Maka tidak heran jika kader PMII familiar dengan seluk beluk materi ini.

Tulisan ini selain otokritik juga berfungsi sebagai saran dan rekomendasi kepada PB untuk kembali mengkaji NDP PMII. Tentunya bukan tanpa dasar yang kuat. Pada bagian awal akan diulas dialog singkat yang menjadi keberangkatan tulisan ini muncul. Bagian kedua menyoroti sejarah bagaimana NDP dirumuskan. Di bagian ketiga melihat betapa NDP kita ini tidak lepas dari kekosongan yang belum terisi. Bagian terakhir mengulas urgensi tulisan ini diangkat.

Dialog Singkat

Keanehan ini saya peroleh waktu mengikuti kaderisasi formal PKL di Nganjuk, akhir Januari 2025. Tepatnya waktu ketua I PKC PMII Jatim, Moh. Sa’i Yusuf mengisi materi NDP PMII. Beliau menjelaskan panjang lebar terkait ruang lingkup NDP, tidak terkecuali sejarah dicetuskannya. Saya masih ingat betul bahwa ia menjelaskan hablum minal ilmi pernah menjadi salah satu rumusan NDP, hingga akhirnya pada kongres IX tahun 1988 di Surabaya disahkan.

Ketika forum tanya jawab dibuka saya bertanya kepada beliau soal mengapa point tersebut jarang dibahas. Padahal ini poin yang sangat penting, mengingat kita sebagai mahasiswa bergelut dengan berbagai ilmu yang diperoleh dari kampus. Urgensi ini saya cerminkan dari rayon kami Kahlil Gibran (sekarang Jalaluddin Rumi) yang sempat membuat program wajib baca. Beberapa list buku yang wajib dibaca seluruh kader rayon, seingat saya karya sastra terkenal milik Pram berjudul Bumi Manusia menjadi urutan pertama, Binatangisme karya George Orwell terjemahan Mahbub Djunaidi di urutan selanjutnya. Saya meromantisir era itu sebagai ‘zaman keemasan’ rayon, juga sebagai model ideal kaderisasi informal dengan tujuan melahirkan pemikir-pemikir yang handal. Tentu model ini menunjukkan kecintaan para kader rayon terhadap ilmu pengetahuan. Diujung pertanyaan saya menyampaikan proposisi bahwa kader PMII sedikit yang punya minat baca disebabkan karena hilangnya hablum minal ilmi di rumusan NDP, dibarengi dengan merosotnya intelektualitas di rayon (mungkin juga di rayon-cabang lain). Tentu ini kesimpulan yang agak provokatif.

Jawaban yang tum Sai sodorkan kepada saya dihadapan forum tampaknya memang normatif dan cenderung asumtif. Beliau bilang bahwa hubungan manusia dengan ilmu sudah include dengan empat rumusan lain yakni Tauhid, hablum Minallah, Minannas, dan Minal Alam. Bagi saya, ini jawaban yang terprediksi bahkan sebelum beliau menjawab pertanyaan. Tidak heran jika Tum Sa’i menjawabnya demikian, sebab beliau bukan pelaku sejarah, juga tidak ditemukan catatan argumentatif tentang dihapuskannya poin ini. Fauzan Alfas sendiri tidak menuliskan alasan itu dalam bukunya yang terbit tahun 2015.

Mengapa diawal saya sebut keanehan? Sebab, ditengah perkembangan zaman yang serba digital ini, juga pesatnya neoliberalisme yang hadir di berbagai sektor kehidupan serta kolonialisme babak baru yang tanpa disadari telah menjadi ‘virus mematikan’, penting bagi kita memahami bagaimana sistem bekerja demi mewujudkan tujuan PMII itu sendiri. Namun, disaat yang bersamaan justru instrumen hablum minal ilmi absen dari pembahasan.

Sejarah Singkat

Fauzan Alfas dalam bukunya yang berjudul “PMII dalam Simpul-Simpul Sejarah Perjuangan” terbit pada 2015 oleh PB PMII (edisi revisi), merekam dengan apik bagaimana NDP secara kronologis digagas hingga akhirnya disepakati. Berawal dari Musyawarah Kerja Nasional III di Bandung pada 1-5 Mei 1976, ia menuliskan bahwa kerangka NDP disusun berangkat dari kebimbangan kaderisasi yang terjadi pada waktu itu, apalagi setelah menyatakan diri sebagai organisasi independen. Kebimbangan itu berupa nilai-nilai Aswaja banyak berserakan dalam kitab-kitab kuning maupun tersimpan di benak para Ulama panutan para kader menyulitkan warga pergerakan yang masih awam, disamping menyulitkan rujukan penyusunan langkah kerja. Selain itu, penjaringan kader tidak lagi menggunakan pendekatan ideologis maupun kultural historis, melainkan pendekatan program. Konsekuensi dari pendekatan ini terjaringnya anggota PMII yang belum atau sama sekali tidak mengenal Aswaja. Maka, untuk mengatasi persoalah ini disusunlah kerangka NDP.

                           

Kemudian pada kongres ke VIII pada 16-20 Mei 1985 di Bandung, selain mendeklarasikan Pancasila sebagai azaz dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga menghasilkan keputusan penting tentang “Penyempurnaan Nilai-nilai Dasar PMII”. Pada kongres inilah, melalui keputusan No. VI/Kong-VIII/85 tentang kerangka dasar nilai dasar perjuangan PMII diktum 2 ditetapkan bahwa “Menugaskan pada PB PMII periode 1985-1988 untuk melengkapi dan menyusun secara utuh dan menyeluruh NDP PMII”. Keputusan ini merupakan tindak lanjut dari kongres 12 tahun sebelumnya, yakni kongres ke V di Ciloto Bogor Jawa Barat pada 1973 yang telah memutuskan bahwa perumusan NDP penting untuk segera disusun. Fauzan menyebut ini sebagai ‘amanat sejarah’ sebab sudah melalui periode kepengurusan panjang yang juga membuktikan kalau perumusan NDP bukan soal yang mudah.

Lalu, pada bulan april 1986 PB PMII membentuk tim pembantu penyiap bahan NDP PMII, melalui SK Nomor: 019/PB-IX/IV/1986, dengan diketuai oleh sahabat Nukbah El-Mankhub. Beberapa narasumber yang dijadikan rujukan dalam merumuskan antara lain KH Abdurohim, KH Yasin, KH Baidlawi LC, KH DRS. Lukman Suryani, KH Slamet Iskandar, KH Sholeh Mahfud dan Nurtontowi, BA. Sedangkan tim inti yang diberi mandat PB PMII untuk menyusun NDP yang dibentuk melalui SK tertanggal 30 September 1987 nomor 099/SK/PB-IXVIII/’87 dengan koordinator sahabat M. Fajrul Falakh SH.

Baik tim pembantu penyiap bahan maupun tim inti yang dibentuk PB untuk menyusun NDP PMII inilah yang merangkai secara komprehensif nilai-nilai dasar hingga akhirnya diusung ke kongres IX tanggal 14-19 September 1988 di Surabaya. Tampak bahwa rumusan yang disahkan Kongres IX merupakan rangkaian tahap yang menentukan dalam waktu lima belas tahun ikhtiar itu. Terlihat juga pada pembahasan sidang komisi NDP PMII berlangsung paling lama dan selesai paling akhir dibanding komisi-komisi lainnya.

                       

Secara esensial NDP ini merupakan sublimasi dari nilai ke-Indonesiaan dan ke-Islaman ala Ahlussunnah wal Jama’ah yang menjiwai berbagai aturan, memberi arah dan pendorong serta penggerak kegiatan-kegiatan PMII. Sebagai pemberi keyakinan dan pembenar mutlak, Islam mendasari dan menginspirasi nilai dasar pergerakan ini meliputi cakupan aqidah, syari’ah dan akhlak dalam upaya memperoleh kesejahteraan dunia dan akhirat. Dalam upaya memahami, menghayati dan mengamalkan Islam tersebut PMII menjadikan Aswaja sebagai pemahaman keagamaan yang dianggap paling mendekati kebenaran.

Membongkar Narasi Dominan

Siapapun yang belajar analisis wacana bakal memahami bahwa rancang bangun yang terkandung dalam NDP berdasarkan nilai keagamaan, secara spesifik islam. Tidak heran memang NDP merupakan sublimasi nilai keislaman. Dilihat dari sisi manapun kecenderungan ideologis menampilkan hal itu. Saya sebut misalnya penggunaan istilah ‘hablun’ merujuk pada kata arab yang identik dengan islam. Selain itu, narasumber yang menjadi rujukan saat merancang NDP hampir semuanya tokoh kyai NU. Jadi, yang sering kita dengar hari ini tentang NDP didominasi oleh narasi teologis (dalil-dalil agama). Dengan begitu, melalui NDP sebenarnya kita diajak untuk berkenalan, memperdalam dan mempraktikkan nilai-nilai islam.

Nilai islam yang menjadi dasar pembentukan NDP ialah islam Ahlu Sunnah Wal-jamaah. Jika Aswaja dalam aqidah merujuk ke imam Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, sedangkan fiqh menganut imam madzhab 4 (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali), lalu bidang tasawuf menganut imam Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi dalam cara pandang beragama, dan bermanifestasi dalam rumusan Tauhid, Hablun Minallah maupun Hablun Minannas, maka model ini bisa dikatakan semacam panduan keagamaan dan spiritual.

Kemudian Aswaja sebagai manhaj al-fikr juga disublimasikan kedalam rumusan NDP. Meliputi tawazun, tasamuh, ta’adl dan tawasuth bermanifestasi dalam 4 rumusan NDP yakni tauhid, hablun minallah, hablun minannas dan hablun minal alam dalam menjalani kehidupan sehari-hari, maka hal ini menjadi semacam panduan sikap.

Dengan demikian, NDP PMII sangat cukup untuk dijadikan pegangan dalam kehidupan beragama maupun cara bersikap. Namun, jika didalam NDP sudah memiliki panduan spiritual dan sikap atau moral, adakah panduan intelektual? mampukah NDP menghadapi problematika sosial yang memerlukan instrumen keilmuan? Jika ada apa argumentasinya? Pertanyaan ini sebenarnya terus mengusik kepala. Sepanjang kaderisasi formal hampir tidak ditemukan jawaban dari pertanyaan tersebut.

Hubungan Manusia dan Ilmu Pengetahuan

Sejarah yang sudah saya tulis di awal menampilkan bahwa ilmu pengetahuan sudah dimasukkan dalam kerangka NDP. Akan tetapi, sepanjang saya mengikuti kaderisasi formal hal itu belum disinggung sama sekali. Apa yang disampaikan tum Sai mungkin ada benarnya, bahwa ilmu pengetahuan include dalam 4 rumusan lain. Hal ini menyiratkan hubungan dengan ilmu sifatnya sangat implisit. Ini yang menjadi problem. Berapa kader yang mengetahui itu? Maka, untuk menjawab persoalan tersebut hubungan dengan ilmu perlu dieksplisitkan.

Puluhan abad lalu Aristoteles telah mendefinisikan manusia sebagai animale rationale, yakni hewan yang berfikir. Kesadaran ini kemudian dikembangkan oleh para filosof sehingga memunculkan berbagai aliran filsafat. Sebut saja misalnya aliran positivisme. Meski aliran ini tidak terbebas dari perdebatan panjang, setidaknya telah menjadi dasar pembentukan berbagai disiplin yang sekarang kita sebut sebagai sains.

Lee McIntyre telah memberi batasan tegas tentang apa yang disebut sains dan non-sains ataupun pseudosains. Demarkasi tersebut terletak pada sikapnya yang membuat sains layak dipercaya, yang kemudian ia disebut dengan sikap ilmiah (scientific attitude). Sikap ilmiah yang Lee maksud merujuk pada dua prinsip dasar, yaitu 1) peduli pada bukti empiris dan 2) mau mengubah teori jika ditemukan bukti empiris baru yang membuktikan bahwa teori itu salah.

Melalui dua sikap tersebut kader sebenarnya diajak untuk tunduk dan setia pada fakta, juga diajak untuk melihat suatu fenomena dengan objektif. Jika ini diterapkan, tentu mudah bagi para kader melahirkan gagasan-gagasan baru demi kemajuan ilmu pengetahuan dan tentunya demi PMII. Berangkat dari kesadaran akan hubungan kader dengan ilmu pengetahuan menjadi syarat kemajuan PMII.

Istilah hablun minal ilmi dapat dipahami dengan makna literernya, sesimpel hubungan manusia dengan ilmu pengetahuan. Diartikan sebagai panduan intelektual juga boleh saja. Hal ini mengindikasikan kecintaan kader dengan ilmu pengetahuan. Namun juga dapat dipahami lebih jauh lagi, kader mampu memposisikan diri sesuai dengan program studi maupun domain keilmuan spesifik yang digemari. Hal ini penting ditanamkan sejak kaderisasi formal untuk memberikan stimulus awal bahwa PMII melalui NDP menekankan pada anggota agar mencintai ilmu dan memilih rumpun kajian yang dipilihnya. Selain itu, mulai sejak dini diharapkan akan kemunculan para pakar-pakar baru sesuai wilayah keilmuan tersendiri. Dengan begitu, PMII tidak bingung-bingung lagi mencari kader yang ahli dalam keilmuan tertentu. Meski ini harapan jangka panjang tapi bukan tidak mungkin untuk diwujudkan. Berdasarkan inilah PB perlu mengkaji ulang NDP PMII.

Sekian terima kasih. Semoga bermanfaat.

Penulis: Renaldi

Editor: Atmadja

Lebih baru Lebih lama