Awal Ruwat, Rawat dan Kuat: Tegaknya PMII dalam Cengkraman Otoritas dan Polarisasi Politik

 Awal Ruwat, Rawat dan Kuat: Tegaknya PMII dalam Cengkraman Otoritas dan Polarisasi Politik





Ketergantungan pada Pemimpin: Antara Ketakutan dan Ketaklukan. Sejarah manusia adalah sejarah tentang pertempuran abadi antara harapan dan ketakutan. Dalam pusaran organisasi seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sering kali kita mendapati bayang-bayang pemimpin sebagai sosok setengah dewa. Ia diangkat ke puncak, tak tergapai kritik, dan menjadi pusat gravitasi keputusan. Bagai pohon beringin besar, akarnya melilit tanah, menaungi yang kecil, tetapi diam-diam membunuh rumput di bawahnya.

Apakah kepemimpinan ini adalah takdir? Tidak. Itu adalah cerminan dari kelemahan kolektif, suatu budaya yang membiarkan otoritas membungkam suara-suara kecil. Ketika anggota di tingkat bawah hanya dianggap angka-angka statistik dalam daftar, PMII tak ubahnya kapal besar tanpa layar, bergantung sepenuhnya pada kemudi seorang nakhoda. Jika nakhoda bijak, kapal selamat. Tetapi jika tidak, kapal itu akan karam, membawa serta harapan kolektif.

Kita lupa, bahwa organisasi yang besar bukanlah soal satu tokoh, tetapi tentang penggalian potensi dari akar rumputnya. Sebuah gunung tak pernah terbentuk hanya dari satu puncak, tetapi dari berjuta batu yang saling menopang. Jika PMII ingin tegak, ia harus melepaskan diri dari mitos satu pemimpin, merangkul model kolektif di mana suara-suara dari bawah adalah denyut nadi yang menjaga hidupnya.

Kita tahu politik ibarat pisau bermata dua dapat membelah daging atau melukai tangan yang menggenggam. PMII, dalam sejarahnya, sering kali tergoda untuk bermain-main dengan pisau ini. Bukan sebagai tukang daging yang bijak, melainkan sebagai anak kecil yang memukau dengan kilauannya. Maka tidak heran, organisasi ini sering kali terjebak dalam jebakan polarisasi politik.

Bayangkan, sebuah sungai yang seharusnya mengalir jernih, memberikan kehidupan bagi semua yang dilewatinya, tetapi malah terkotori oleh limbah ambisi. Polarisasi politik mengubah solidaritas menjadi perseteruan, seperti api yang memakan kayu. Perbedaan pendapat yang seharusnya menjadi tanda kematangan, malah menjelma menjadi luka yang membelah. Apakah ini fungsi organisasi? Tidak. PMII bukanlah alat politik, melainkan wadah perjuangan intelektual dan sosial.

Dalam lingkaran polarisasi, sering kali kita lupa pada amanah organisasi ini: menjadi penyambung lidah umat, menjadi penyuara suara kaum tertindas. Jika PMII hanya menjadi alat kepentingan elite, maka ia telah mengkhianati semangat awal para pendirinya. Kita harus ingat, politik hanyalah alat, bukan tujuan. Bila alat itu memecah belah kita, maka lebih baik ia kita buang.

PMII adalah kapal besar yang mestinya membawa mimpi-mimpi besar. Namun kapal ini harus dibersihkan dari karat otoritarianisme dan buih polarisasi. Sudah waktunya kita mengedepankan kepemimpinan kolektif, di mana setiap anggota bukan hanya pengikut, tetapi pemimpin dalam kapasitasnya masing-masing. Anggota bukanlah sekedar penumpang kapal, tetapi pelayar yang ikut menarik layar, menjaga arah, dan memahami lautan.

Kita juga harus membebaskan PMII dari polarisasi politik dengan kembali kepada perjuangan universal: keadilan, kesetaraan, dan keberpihakan kepada yang lemah. PMII harus menjadi obor di tengah gelap, bukan bayang-bayang dari permainan politik yang fana.

Apa gunanya sebuah pohon yang besar jika buahnya tidak bisa dinikmati? Apa gunanya sebuah organisasi yang megah jika hanya menjadi panggung bagi beberapa aktor? PMII adalah cermin dari anggotanya. Jika cermin itu retak, maka kita semua bertanggung jawab memperbaikinya. Kita bukan sekedar bagian dari sejarah, kita adalah penulisnya. Mari kita mulai menulis cerita yang baru, cerita tentang kebangkitan PMII sebagai rumah yang nyaman bagi semua, bukan hanya bagi mereka yang di puncak.

Seperti kata Soe Hok Gie: “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.” Maka, mari kita asingkan otoritarianisme dan polarisasi dari rumah kita. Biarkan PMII menjadi taman yang tumbuh tanpa bayang-bayang, sebuah harapan yang tegak untuk generasi mendatang.


Penulis: pengamat kaderisasi

Editor: Atmadja

Lebih baru Lebih lama