Ilusi Kemerdekaan: Babak Baru Kolonialisme

pinterest

Oleh: Renal

bahwa nasionalisme, meminjam istilah Louis Althusser, menjadi ideological state aparatus yang menampakkan ketidakmerdekaan rakyat Indonesia

 Halo sahabat-sahabat. Bertemu lagi, dalam ulasan bertemakan kemerdekaan yang ilusif ini. Saya disclaimer, tulisan ini adalah kelanjutan dari sebelumnya yang membahas nasionalisme. Karena itu, sangat disarankan untuk membaca ulasan yang sebelumnya. Monggo (Baca di sini). Okay, akan saya mulai dengan menghadirkan ulang dengan singkat essai terdahulu.

 Nasionalisme merupakan ideologi kesatuan yang dikonstruksi berangsur-angsur secara menyeluruh, hingga akhirnya membentuk identitas kebangsaan. Upaya penyatuan tersebut tergambar melalui istilah satu bahasa, satu tanah air, satu bangsa, NKRI harga mati, Pancasila jaya dan sebagainya. Pada saat yang sama, kesatuan ini nantinya memunculkan rasa cinta akan tanah airnya. Saking mengakarnya ideologi ini, masyarakat rela melakukan apapun demi membuktikan kecintaannya, contohnya upacara bendera yang panas-panasan itu. Namun, dalam praktiknya, ideologi tersebut dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang ingin mendapatkan keuntungan sendiri. Tidak sedikit dari perlakuan penguasa yang justru meminggirkan rakyat kecil dari kesejahteraan, dengan dalih keamanan, ketertiban, dan lain-lain. Dari aspek tersebut nasionalisme menjadi semacam praktik yang manipulatif. Inilah yang membuat kemerdekaan seolah dibatalkan oleh mereka yang menggembar-gemborkan.

Anjing Keren banget cuy. Dengan dibangunnya IKN, bangsa kita memiliki istana yang dibangun sendiri

 Kita lihat disini bahwa nasionalisme, meminjam istilah Louis Althusser, menjadi ideological state aparatus yang menampakkan ketidakmerdekaan rakyat Indonesia. Disamping itu terdapat instrumen lain yang juga menampilkan hal demikian, yakni kolonialisme. Kolonialisme, akhir-akhir ini trending dalam berita nasional pasca ungkapan Presiden Jokowi pada agenda pengarahan kepala daerah se-Indonesia di IKN. Ini yang dia bilang "Saya hanya ingin sampaikan bahwa itu (istana Jakarta dan Bogor) sekali lagi bekas Gubernur Jenderal Belanda dan sudah kita tempati 79 tahun. Bau-baunya kolonial selalu saya rasakan setiap hari, seperti dibayang-bayangi," hari Selasa (13/8/2024).

Anjing Keren banget cuy. Dengan dibangunnya IKN, bangsa kita memiliki istana yang dibangun sendiri. Karya anak bangsa, katanya. Ungkapan Jokowi tersebut sekaligus menunjukkan dirinya yang anti-kolonialisme. Sikap inilah yang kita butuhkan dari seorang pemimpin. Disamping sisi menunjukkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia yang anti penjajahan. Bangga dong kita, iya kan?.

 Akan tetapi, saya pribadi merasa ragu. Benarkah pemindahan ibukota negara sebagai simbol anti-kolonial? Atau justru merupakan bentuk kolonialisme yang lain? Saya kira pertanyaan ini cukup-lah untuk mengantarkan arah ide pokok ulasan ini. Mari Simak baik-baik….

Kolonialisme dan Perjuangan

 Secara umum, kolonialisme dapat dipahami sebagai paham yang berorientasi pada ekspansi “budaya” untuk mendudukkan wilayah yang dijajah-nya. Disebut budaya sebab misi besarnya ialah member-adab-kan daerah yang dianggap belum beradab. Karena itu, negara kolonial membawa nilai-nilai kebudayaan hingga agama ke wilayah jajahannya (Said, 1978). Tidak berhenti pada nilai budaya dan agama, negara induk (kolonialis) juga mengeksploitasi sumber daya alam wilayah yang dijajah-nya.

Pembangunan tersebut memakan banyak korban pribumi.

 Slogan yang sering kita dengar dari kolonialisme ini ialah Gold, Glory, and Gospel. Istilah “gold” tidak mengacu pada emas atau harta, tetapi kemakmuran yang dapat tercipta dari kegiatan ekonomi yang dilakukan terhadap wilayah koloni. Corak yang mereka bawa ialah memperkaya negaranya, disamping menyebarkan agama dan paham-paham yang mereka ciptakan. Bagi penganut marxisme, kolonialisme ini lahir berdampingan dengan kapitalisme di Eropa. Selain itu, pola umum yang dilakukan oleh kolonialis berupa perdagangan, penaklukan, perampasan, hingga politik adu domba (divide et impera).

 Sementara Indonesia sendiri merupakan wilayah bekas jajahan. Dengan istilah lain negara Dunia ke tiga. Kita tahu itu, bahwa negara kita pernah dijajah beberapa abad oleh Barat. Berbagai kesengsaraan telah dialami oleh rakyat Indonesia. Saya sebut misalnya, kerja paksa Pembangunan jalan raya Anyer-Panarukan yang membentang dari ujung barat hingga timur Jawa. Pembangunan tersebut memakan banyak korban pribumi.

 Kondisi terjajah semacam ini yang kemudian membangkitkan semangat perlawanan. Sejarah telah mencatat banyak gerakan-gerakan pembangkangan yang dilakukan untuk melawan pemerintah Hindia-Belanda. Pecahnya perang Jawa (1825-1830) yang dimotori oleh Pangeran Diponegoro menjadi salah satu contohnya. Disamping banyaknya perlawanan di sekup-sekup kecil wilayah tertentu.

 Proses kolonialisme ala Hindia-Belanda masih terus berjalan hingga masa kemerdekaan Indonesia yang secara politis diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Tentunya, fase tersebut menjadi tujuan utama bangsa untuk mengusir penjajah. Hal ini tidak mungkin terjadi apabila tanpa ada semangat perjuangan yang dilakukan penduduk Nusantara.

Omong Kosong Anti-Kolonialisme

 Hari Ulang Tahun (HUT) RI ke-79 kali ini mengusung tema “Nusantara Baru, Indonesia Maju”. Ini maksutnya apaan si… Nusantara baru itu representasi ibukota yang baru? Representasi Nusantara baru dalam maknanya literer? Bukankah term Nusantara sudah ada jauh sebelum Merdeka? Atau mungkin ini sistem pemerintahan terbaru? Memangnya, sistem baru yang mana? Ditambah lagi ‘Indonesia Maju’, terkaan saya merujuk ke 2045 Indonesia emas, namun apa tolak ukurnya? Sementara indeks Intelligence Quotient (IQ) nasional kita terjun bebas. Gapaham aku jalan piker pemerintah ini.

Hal ini mengindikasikan bahwa yang disampaikan Jokowi soal istana yang berbau kolonial adalah OMONG KOSONG belaka

 Sebagai negara bekas jajahan atau dunia ketiga, Indonesia tidak berjarak dengan kolonialisme. Hal ini dikuatkan oleh para peneliti Post-kolonialisme yang berargumen bahwa kolonialisme tidak dapat diubah. Berbagai bentuk Upaya menghilangkan dampak kolonialisme ataupun menerapkan kembali budaya “asli” merupakan kemustahilan yang niscaya. Akan tetapi, kolonialisme dapat dilawan dengan menciptakan budaya alternatif, sastra misalnya. Sastra dapat menjadi budaya bernada anti-kolonialisme dengan makna yang sebenar-benarnya.

 Ketidakmungkinan negara bekas jajahan untuk lari dari kolonialisme dapat ditelisik melalui ingatan yang terwariskan karena beberapa faktor. Pertama, aktor kolonial tidak melulu penjajah. Dengan kata lain, penduduk asli tidak selalu menentang kolonialisme. Kedua, kekerasan fisik yang dilakukan pada masa colonial menciptakan trauma yang besar. Ketiga, sejarah mencatat bahwa warga setempat juga bekerja sama dengan kolonialis. Keempat, kolonialisme ternyata belum berakhir, ia hanya merubah wajahnya.

 Khusus faktor yang terakhir diatas, kita dapat temui di berbagai produk hukum yang memarjinalkan, bahkan mendiskriminasi kelompok tertentu. Dalam konteks IKN, pemerintah mengeluarkan kebijakan Hak Guna Usaha (HGU) 190 tahun bagi yang menginvestasikan anggaran melalui Perpres No 75 tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Ini jelas lebih parah dibanding masa pemerintahan Hindia-Belanda yang hanya 75 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa yang disampaikan Jokowi soal istana yang berbau kolonial adalah OMONG KOSONG belaka. Sama omong kosongnya dengan desain yang sudah jadi dengan desain awal bentuk garuda di IKN itu, cuuakkksss.

Yang ingin saya sampaikan adalah negara bekas jajahan tidak mungkin membebaskan diri dari kolonialisme sepenuh-penuhnya. Produk hukum akan bersinggungan dengan kolonialisme. Dari sini kita lihat bahwa penjajahan diatas dunia belum terhapuskan. Bentuk penjajahannya boleh jadi tidak dengan militerisme atau kekerasan, melainkan dalam wujud yang lebih halus, yakni ideologi. Yaaaaa sikap Jokowi yang seolah anti-kolonialisme itu ternyata sekedar pencitraan. Biar terlihat nasionalis mungkin, padahal aslinya aktor kolonial. Inilah bentuk lain dari kolonialisme ala Hindia-Belanda. Kalo begitu ubah saja tema kemerdekaan menjadi “Kolonialisme baru, Indonesia Wibu”…

Hahaha (tawa jahat)

Wes lah suwun sahabat2 telah membaca amukan saya yang tidak berpengaruh pada pemerintah ini


Lebih baru Lebih lama