Heroik, Tapi Juga Humoris: Kisah Sang Pahlawan Kesurupan

 

    
Doc: Detik.com

                              

 

         Di sebuah desa kecil yang bernama Kampung Serba-Waw, hiduplah seorang pahlawan lokal bernama Felix Fabuloso Si Maragentar, Ia terkenal bukan hanya karena keberaniannya, tetapi juga karena kebodohannya yang sering kali mengundang tawa. Suatu hari, Felix  mendengar kabar tentang roh penasaran yang mengganggu warga desa. "Aku harus mengambil tindakan!" teriak Felix  dengan semangat, sambil mengangkat keris pusakanya yang lebih mirip alat pemotong sayur.

   Persiapan Felix  untuk menghadapi roh tersebut sangat menggelikan. Ia mengenakan kostum superhero lengkap dengan jubah berwarna cerah yang ia buat sendiri. Jubah itu dibuat dari kain bekas yang ia temukan di pasar dan sayangnya, baunya mirip dengan ikan busuk.

 "Siapa yang berani melawan pahlawan beraroma ikan segar ini?" teriaknya dengan percaya diri, meskipun tetangga-tetangganya lebih memilih untuk menutup jendela agar tidak tercium.

Malam pun tiba, Felix berkeliling desa dengan lentera bercahaya terang, berusaha mencari jejak roh. Namun, langkahnya terhenti saat ia mendengar suara tawa gemerisik dari semak-semak.

"Hah! Roh penasaran, muncul!" jeritnya, dan tanpa pikir panjang, ia melompat ke arah suara itu. Sayangnya, ia justru terjatuh ke dalam lubang yang terisi air, membuatnya tampak seperti baju renang berwarna warni.

Keesokan paginya, ketika Felix terbangun, ia mendapati dirinya dikelilingi oleh warga desa yang khawatir. "Apa yang terjadi, Felix?" tanya seorang ibu, sambil menahan tawa.

 "Aku... aku diserang roh!" ujarnya sambil mengibas-ngibas air dari rambutnya. Warga hanya bisa tersenyum geli, dan seorang nenek tua pun berkata, "Itu bukan roh, itu hanya kucingku, Nak!"

Mendengar celaan itu, Felix merasa tersingkir dan bertekad untuk membuktikan bahwa ia benar-benar pahlawan. "Sekarang, aku akan mendalami ilmu mistik!" ucapnya bersemangat. Ia kemudian pergi ke sebuah tempat tertua di desa dan berkata kepada dukun, "Ajari aku cara mengusir roh!" Dukun sejenak mengamati Felix, lalu mengatakan, "Untuk mengusir roh, kamu harus memiliki semangat yang tinggi, dan wangi yang pas!"

Mendapatkan nasihat itu, Felix  berusaha untuk wangi. Ia berlari ke pasar untuk membeli parfum termahal yang ada, tetapi hanya mendapatkan semprotan pengharum ruangan. "Hey, wangi jeruk nipis ini pasti bisa!" katanya dengan penuh keyakinan. Namun saat mencobanya, tempat itu malah dipenuhi aroma menyengat yang membuat kucing di sekitarnya melompat ketakutan.

Selanjutnya, Felix  kembali ke dukun untuk meminta bimbingan. "Aku sudah berusaha membangkitkan semangat!” teriaknya sambil mengibaskan handuknya yang beraroma jeruk nipis. Dukun itu hanya bisa menggelengkan kepala dan menyuruh Felix  untuk berlatih meditasi. "Cobalah duduk di bawah pohon beringin dan fokus," imbuh dukun tersebut. Dengan gigih, Felix mencoba, meskipun setiap kali meresapi kedamaian, tiba-tiba ia teringat pada makanan favoritnya nasi padang.

Selain makanan, setiap usaha Felix  untuk meditasinya selalu terganggu oleh suara hewan ternak. Ketika ia sudah siap, ada ayam berkokok dengan suara super keras setengah jam lamanya. "Siapa yang mengusik kesucian meditasi ini?!" teriak Felix  dengan geram, sambil melompat bangkit. Tanpa disadari, ia melompat tepat di atas ayam yang berkokok, membuatnya terjatuh sambil berteriak. Sekelilingnya pecah dalam tawa.

Meski terus dihalangi oleh kelemahan dan kekonyolan, semangat Felix tak pernah luntur. Hingga suatu malam, saat ia berkumpul di tengah warga untuk menceritakan kelanjutan misinya, tiba-tiba lintang-lintang muncul dan vacuum listrik menyala, menerangi seisi ruang. "Ada yang melihat?! Itu dia! Rohnya!" teriak Felix, langsung berlari ke arah itu, dan tentu saja, ia tersandung kursi hingga jatuh lagi, kali ini melemparkan milo ke udara.

Di tengah semua keramaian itu, seorang gadis desa berusaha menahan tawa dan berkata, "Mungkin roh itu hanya butuh mangga dari tikusmu." Felix  bingung, "Kau yakin, itu roh atau imajinasiku saja?" Kami semua tertawa terbahak-bahak melihat Felix  yang berusaha menjerit dan berlari ke arah yang salah. "Duh, salah jalan lagi!" ujarnya sambil bercanda.

Hari pun berlalu, dan Felix  mulai terkenal bukan hanya sebagai pahlawan yang gagal, tetapi sebagai pahlawan yang dipenuhi aksi-aksi konyol. Semua warga desa akan menunggu tindakannya selanjutnya dengan nada humor. "Apa yang akan Felix lakukan minggu ini, ya? Mengusir babi liar dengan kembang api?" tanya seorang remaja sambil tertawa.

 

Dengan penuh kepercayaan diri, Felix pun berkata, "Tak ada yang bisa mengalahkan keberanian dan ketulusan hatiku! Selalu ada cara untuk membuat orang tertawa, bahkan jika itu dengan cara konyol!" Terbukti, apa pun yang ia kerjakan, kesalahan pun pantas menjadi tawa. Alhasil, Felix  menjadi pahlawan lucu dihati penduduk.

Hingga di suatu malam, saat ketegangan meningkat karena suara hantu, semua warga desa berkumpul di alun-alun dengan Felix  di depan. “Horor bukan berarti kita tidak bisa tertawa!” ujarnya, dan ia pun mulai menyanyikan lagu yang tempo vokalnya salah dan tanpa nada. Walau terdengar sumbang, semua tertawa geli.

Ketika arwah itu akhirnya muncul di hadapan mereka, Felix pun menantang hantu tersebut dengan frekuensi canda. "Dengar, hantu! Apakah kamu berani tantang aku dalam tarian?!" Hantu itu seperti terdiam sejenak, kemudian tersenyum, "Baik, tetapi saya tidak menerima kekalahan!" Alhasil, kedua lawan ini berdansa dengan ritme humor, sementara semua orang menonton dengan gelak tawa.

Cerita heroik Felix berakhir dalam pelukan tawa bagi warga desa Serba-Waw. Tak ada lagi ketakutan akan roh, karena mereka telah belajar bahwa walaupun  terkena kesurupan, yang paling kuat adalah tawa. Dan Felix diakui sebagai pahlawan sekaligus pelawak Kabupaten, menciptakan kenangan yang tak terlupakan.

Hidupnya diliputi aksi konyol, tetapi di ujung setiap kisahnya, selalu ada tawa. Dan seperti itulah, pahlawan kami, Felix Fabuloso Si Maragentar yang meskipun kadang canggung dan konyol, berhasil menjadikan humor sebagai senjata terkuatnya!.

Penulis: Firnanda Aul

Editor: A.N. Atmadja

Lebih baru Lebih lama