FDK: Sastra Melihat NDP


Mengingat dari data IQ rata-rata orang Indonesia yang 70-an itu, dengan harapan ’45 emasnya zaman Indonesia adalah dua hal yang bila di-zina-kan akan beranak dengan nama “ketidakmungkinan”. Tentu kesimpulan yang kacau secara logika ini akan mengundang perdebatan bagi orang-orang yang kacau juga logikanya.

Namun, yang ingin saya tulis di sini bukan masalah logika, atau emas ’45, atau IQ orang Indonesia, karena sudah banyak di luar sana ahli-ahli yang menulis itu, dan bisa dicari dengan mudah pada penelusuran laman cepat serba guna. Jadi, yang bisa diambil dari membaca tulisan ini;

1. Menghadirkan kemungkinan yang tidak mungkin ada pada kenyataan lewat sastra

2. Memungkinkan NDP PMII pada tafsir sastra yang menghadirkan warna abu-abu dari hitam-putihnya selama ini.


Pendahuluan

Bermula dari Forum Diskusi Komisariat (FDK) yang mencoba Istiqomah dengan persaksian malaikat-malaikat serta iblis, untuk selalu menggali tema-tema dengan berbincang santai dan serius guna membentuk manusia sesuai cita-cita PMII.

Walhasil, dengan peserta 4 kepala manusia doang, acara diskusi tetap dimulai karena takut dengan kutukan iblis yang jadi saksi. Dari empat kepala itu pun, satu di antaranya masih bisa-bisanya terlelap di tempat acara dengan nyenyak.

Meskipun pada akhirnya hanya 5 kepala, dengan Sahabat Alfin sebagai pengicau dan Pak Kom Aris sebagai pembanding, juga tiga sahabat dari rayon terdekat, acara tergolong sukses dilancarkan dengan durasi hampir 3 jam. Alhamdulillah.

Dengan tema awal “Sastra dan Perlawanan”, bergeser jadi membahas Nilai Dasar Pergerakan (NDP) karena dinilai tema awal begitu besar dan luas, sehingga kapasitas siapa yang mampu menjabarkan keluasan dan ketidakberujungannya, maka kamu punya inisiatif progresif dengan menambahkan NDP pada pembahasan kali ini, sehingga kira-kira judulnya berubah menjadi “Melihat NDP dari Lubang Sastra”.

Dengan alasan jenuhnya tafsir formal atasan NDP, dan kakunya bahasa sebagai medium penjelas NDP bagi semangat dasar sahabat-sahabat, maka judul yang berubah itu sedikit menjawab keresahan formalis bagi individu merdeka. Harusnya.


Sastra sebagai Kacamata

Dengan sastra yang tidak ada kata sepakat, dan memang tidak akan mungkin mendapat kata sepakat untuk definisinya, apakah mungkin sebagai cara, metode, kacamata, paradigma, dsb., sebagai alat untuk menjelaskan perkara lain?

Jawabannya: bisa.

Penjelasannya, bahwa ketika bicara perkara sastra, tentu pasti dan wajibnya membicarakan tentang apa yang disebut “karya sastra” sebagai bagian integral dalam tubuh sastra. Kemudian dengan membaca karya sastra, membaca yang serius, akan didapat tentang penjelasan nilai, motif, bahkan psikis dari tokoh yang diceritakan.

Misal kita bicarakan soal sastra sufi, satu karya yang ditulis oleh Alm. Pak Agus Sunyoto dengan judul Suluk Abdul Jalil. Dengan 7 jilid untuk satu garis besar cerita, maka ada puluhan atau bahkan ratusan ide-ide tentang sufi, hubungan dengan Tuhan, manusia, sejarah, dsb. sehingga selain membaca cerita adalah suatu hiburan, dapat kita bilang juga bahwa membaca cerita adalah belajar.

Kemudian, satu atau beberapa karya sastra dengan tema yang sama kita kumpulkan dan catat-catat hal pentingnya yang dapat kita tarik sebagai bagian dari hidup adalah hal yang niscaya bisa mengubah hidup seseorang, atau kita. Sehingga, dari catatan-catatan itu kita bisa padankan dengan kehidupan sehari-hari, atau bahasa kerennya adalah reflektif untuk “amar ma’ruf nahi mungkar”.


Dari Lubang Sastra Melihat NDP

Berjumlah empat, yaitu;

1. Tauhid

2. Hubungan dengan Allah

3. Hubungan dengan manusia

4. Hubungan dengan alam

Tak ada penjelas tentang NDP, sebab bisa sahabat baca di modul MAPABA dan PKD sudah ada. Yang akan kami coba bicarakan adalah sebagai berikut ;

Tauhid dan Atheis “Akhdiyat Karta Miharja”

Novel yang memberikan cerita tentang tokoh yang secara implisit mengkritik pada kekolotan mistik, desa, kuno, jadul, dengan bandingan dunia modern yang terbuka dan rasional. Namun, malah terjebak pada kebingungan akan pencarian yang tiada henti, hingga penyesalan muncul sebagai tonggak pemberhentian.

Dari tokoh Hasan kita bisa belajar, be-reflektif terhadap dunia di depan kita, bahwa kadang kekolotan mengandung sebuah kenyamanan batin yang tidak dimiliki para revolusioner. Ditunjukkan ketika tokoh Hasan membelot kepada orang tuanya, tapi ketika ditinggal mati oleh bapaknya, batinnya kacau sejadi-jadinya.

Oleh sebab itu, tauhid berdiri sekaligus mendirikan bangunan nilai-nilai lain, seperti 3 nilai NDP yaitu hablum minal Allah, manusia, dan alam. Dan bila 4 nilai ini indie, berdikari sendiri dalam hati seseorang, adalah kebimbangan yang di dapat dari nilai "tauhid".

Seperti yang diungkapkan Pak Aris, "Adalah ketersambungan yang tidak kita sadari, tentang apa yang terjadi di sekeliling kita, yang entah sengaja maupun tidak yang kita lakukan, pasti memiliki dampak kepada orang lain untuk berbuat baik. Meskipun perbuatan kita jahat". Ia menafsirkan dari novel yang oleh mayoritas kritikus sastra dianggap "sastra murahan" yaitu novel yang ditulis oleh Tere Liye.

Tentu perdebatan tentang mutu atau tidak mutunya sastra tidak kita bahas, sebab di sini kita ingin me-luberkan batasan tentang sastra, karena perbincangan akan men-stop bila sudah menyangkut batasan mutu atau tidak mutu waktu diskusi kemarin. Sehingga perihal sastra murni dan pasaran tidak kita anggap, sebab yang diambil adalah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Hubungan dengan Allah, Manusia, dan Alam

Karena kesempurnaan isi dari NDP adalah saling terikat dan tidak terpisah, maka di bagian ini kita akan gabung tiga nilai dalam satu interpretasi.

Dari diskusi 4 orang, dan satu peserta nyenyak di alam mimpi, tentu pertanyaan dan jawaban, saling bertarung tanpa ada sekat mana pembicara dan pendengar, karena dalam ruang yang begitu sedikit orang, tapi banyak waktu dan kata yang keluar, memungkinkan sedikit kedalaman tentang hal-hal yang dibicarakan.

"Misalnya tentang hubungan Allah, manusia, dan alam adalah satu hal yang terkandung dalam cinta," ujar David sahabat Rayon Bahasa Avicenna. Lantas ia melanjutkan bahwa "tak mungkin tanpa cinta, hubungan kita dengan alam akan baik".

Kemudian banyak lagi ide-ide yang lugas dibicarakan, lalu acara diakhiri makan gorengan yang dibawa oleh Sahabat Panjalu dengan caos.


Editor: Putri

Lebih baru Lebih lama