"Biarkan mereka berbicara karena kamu (Ketua Cabang) layak untuk dibicarakan," ialah kalimat bijak atau quote yang layak kita berikan—karena mau tidak mau, PMII Komisariat UIN SATU adalah salah satu organisasi yang berdiri di bawah naungan Cabang PMII Tulungagung—kepada ketua cabang PMII Tulungagung. Bukan tanpa tujuan, sebab kalimat quote tersebut mengandung makna yang dalam bagi sahabat-sahabat kader di bawah kaderisasi PMII yang besar.
Bagaimana saya tak gatal untuk menulis, karena sambutan Sahabat Aris Baiqi selaku ketua cabang PMII sewaktu acara halalbihalal yang diselenggarakan Ikatan Alumni PMII Tulungagung mengungkapkan apa yang tidak sesuai dengan apa yang terjadi, setidaknya dalam setiap tingkah laku pribadi sahabat ketua sendiri melalui sudut pandang kuda milik saya.
"Berkumpulnya senior dan kader aktif, bahwa distribusi dan kaderisasi menjadi momen paling baik, karena di era disrupsi, harus cepat dan indikator harus jelas. Ini harus yang utama menjadi sumbangsih SDM di Tulungagung." Begitulah cuplikan yang kami anggap sebagai inti dari jamuan sambutan oleh Sahabat Baiqi dalam rangkaian acara halalbihalal Ikatan Alumni Tulungagung (IKA) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Jelas dalam tulisan ini, saya tak bermaksud menjatuhkan kehormatan Sahabat Aris Baiqi sebagai manusia yang bebas dan merdeka. Yang mempunyai hak bebas berpendapat sebebas-bebasnya, dan justru saya dukung mati-matian hak berbicara Sahabat Aris sebagai apa pun. Dalam tulisan ini, sambutan Sahabat Aris-lah yang saya akan bahas dalam ruang lingkup keorganisasian yang berbasis kaderisasi, yaitu PMII.
Secara etimologi, kader lahir dari bahasa Yunani yaitu cadre yang artinya bingkai, sedangkan secara terminologi kader berarti orang atau kumpulan orang yang dibina dalam sebuah organisasi. Dibina dalam kerangka kaderisasi bukanlah awal atau akhir sebuah pendidikan untuk menuju cita-cita atau visi organisasi, melainkan sebuah proses.
Seperti dalam Etika Nikomacheia, buku etika pertama yang ditulis oleh Aristoteles, dalam kalimat termasyhurnya, "Setiap keterampilan dan ajaran, begitu pula keputusan dan tindakan, nampaknya mengejar salah satu nilai." Lalu, Aristoteles menyampaikan bahwa terdapat dua tujuan manusia, yaitu tujuan sementara dan tujuan akhir, kemudian ia menjawab bahwa tujuan akhir adalah kebahagiaan.
Kebahagiaan dalam ajaran Aristoteles bukanlah hal yang instan, begitu mudah didapat, atau sekali jadi langsung dapat, melainkan sebuah proses, interaksi, keterikatan, dan mutu atau kualitas. Sehubungan dengan kaderisasi, bukanlah pula hal yang instan dan sekali jalan dapat, ia adalah jalan beberapa tahun yang singkat, yang juga harus dipadatkan sehingga mencapai mutu yang diharapkan.
Pada tanggal 4 Mei lalu, diselenggarakan acara halalbihalal IKA PMII yang dihadiri oleh alumni serta kader aktif PMII se-Tulungagung, mengesampingkan hal-hal yang berbau teknis dan hidangan makanan yang mampu men-senyumkan perut juga lidah, sambutan ketua cabang juga perlu menjadi fokus. Sahabat Aris Baiqi seperti melontarkan kalimat-kalimat kosong, setidaknya yang akan saya catat;
1. Dalam sambutan beliau, ia mengucapkan satu-dua patah kata yang tidak semestinya ia ucapkan. Tiga-dst. kata tak ada masalah.
2. Masalah pertama, ia menyampaikan kecepatan kaderisasi di dalam era disrupsi adalah penting bagi peningkatan kualitas kader. Satu kalimat, yang membuat buku kudu kami merinding, sebab kebohongan beliau dalam bertindak untuk kaderisasi begitu terasa, setidaknya dalam ruang lingkup rayon-rayon se-UIN SATU.
Berubahnya tatanan dunia, dalam arti disrupsi yang disebutkan sebagai pokok keutamaan kaderisasi, dalam ruang dari langkah-langkah yang bisa kita putar rekaman jejak kaderisasi cabang dengan ketua Sahabat Baiqi begitu gagal. Pengawalan kaderisasi yang terutama semrawut amburadul, dalam tingkat kaderisasi normal padahal.
Bila yang kita salahkan, atau dalam bahasa dimintai tanggung jawab ialah koordinator bidangnya, maka ia, sahabat koordinator bukanlah sebab utama. Namun, ada sebab-sebab lain yang lebih dasar. Contohnya sistem, ruang gerak, SDM, dan cara kepemimpinan.
Namun, tetap perlu diingat bahwa orang Jawa terlatih memiliki "rasa" yang harus dan selalu diolah, maka sebetulnya yang diperhatikan bukanlah Sahabat Baiqi sebagai manusia yang kami caci-maki, melainkan—seperti dalil Rocky Gerung ketika menghina presiden— yaitu Sahabat Baihaqi yang menjabat sebagai ketua cabang.
Penulis: Alfin
Editor: Putri