TIGA BACA: Terobosan Berani dari Kapitalis Kopi Sentris

Doc. Saat diskusi dengan gayeng berlangsung


Sebenarnya sudah lama terpikirkan untuk membentuk sebuah acara (Tiga Baca) untuk menjadi ruang bagi para mahasiswa, begitulah ucap Sahabat Fauzi selaku pemilik sekaligus pengelola, sekaligus pula penjaganya walau kadang-kadang. Lalu disusul dengan pernyataan Sahabat Trio yang mengatakan nanti kita bincang-bincang lagi di sentris sahabat-sahabat, saat ia menjadi pemantik diskusi di bawah pohon rindang dengan tema "Hilangnya Marwah Mahasiswa", 7 Maret 2024 yang diluncurkan oleh Rayon Khawarizmi. Lantas, Sahabat Fauzi terpanggil (atau tidak, terpaksa) untuk mulai merancang seluk beluk tentang kelahiran Tiga Baca.

Sebenarnya, acara diskusi di Kopi Sentris telah ada, jauh sebelum Tiga Baca ini lahir. Namun, kalau dipikir-pikir acara ini butuh nama, ungkap Sahabat Fauzi.

Sahabat Fauzi sebagai bapak dari Tiga Baca ini, mengajak Aira mahasiswa BKI, dan satu tokoh yang tak boleh disebutkan, untuk menjadi pialang dan tiang untuk anak merah ini.


*

Mahasiswa UIN SATU sedikit-dikitnya adalah manusia yang bertanggung jawab atas berlangsung-kembang literasi yang ada, yang berada di Kabupaten Tulungagung. Dan Sahabat Fauzi telah melihat titik terang untuk masalah, bahwa yang terjadi pada lingkungan mahasiswa, tentang bicara serius untuk tumbuh kembang literasi, dan duduk bersama untuk sharing pengetahuan dengan melahirkan Tiga Baca.

Memang ada ruang-ruang yang menjadi tempat hidupnya literasi. Namun, pendapat penulis untuk ini adalah gaungnya dan raungnya hanya sebatas pintu rumah. Belum ada bahkan tidak ada sama lingkungan yang terbuka bagi semua mahasiswa (Tentu penulis tak melalaikan masalah mahasiswa itu sendiri yang masih tak sadar peran sosialnya, dan komunitas di luar mahasiswa dan PMII, karena sebagian kecil telah bangun dari tidurnya).

Mudahnya adalah dari mahasiswa untuk mahasiswa masih menjadi slogan kosong tanpa makna. Apalagi mahasiswa untuk rakyat?

*


Isi dari Tiga Baca

Rangkaian dari apa yang disebut Sahabat Fauzi "studi club" ada tiga bagian yang berbeda namun tak dapat dipisahkan. Pertama, ada baca buku, baca manusia, dan terakhir baca peta.

Baca buku adalah acara yang di dalamnya terdapat bahasan mengenai buku-buku. Acara ini berlangsung pertama kali dengan judul BACA BUKU "JENDELA ILMU?". Judul ini seakan memiliki keraguan terhadap tujuan buku "yang baik" itu hadir bagi pembaca "yang baik", walaupun pada kesimpulan yang di dapat dari acara atau segmen baca buku ini, buku memang salah satu jendela ilmu.

Segmen yang kedua bernama baca manusia. Segmen ini bermaksud mengulik sedalam dan lebarnya mahluk bernama manusia. Acara ini juga telah terlaksana tepat hari ini, Sabtu, 16 Maret 2024 dengan pemantik atau yang paling tepat adalah praktisi, seorang mahasiswa jurusan BKI bernama Aira, karena manusia dibedah lewat perilaku-perilaku menyimpangnya, aneh-anehnya, dan penyakit jiwa yang paling banyak diidap manusia.

Dan segmen terakhir memiliki nama baca peta, yaitu pembicaraan yang menuju segala pernak-pernik tentang keadaan juga situasi di sekitar kehidupan, entah politik, sosial atau ekonomi, dll. Perbincangan ini masih belum terlaksana karena memang studi club ini, baru lahir satu minggu yang lalu.

Tiga segmen ini setali tiga uang bagi Kopi Sentris, apalagi dari bapaknya yaitu Sahabat Fauzi, karena ia yang bertanggung jawab sepenuhnya atau paling tidak sebagian karena program ini lahir dari kepalanya. Tentu, dari lahirnya Tiga Baca ini menimbulkan efek sosial berupa nilai positif maupun negatif yang akan penulis coba uraikan di kesempatan ini.


Nilai Positif dan Negatif Mahluk Non-materi Bernama Tiga Baca.

Penulis merasa penting menulis antara nilai positif dan negatif—bukan karena saya merasa penting—namun lebih karena reaksi saya kepada lahirnya acara berani yang digagas oleh manusia yang berani pula. Oleh karena keberanian para penggagas Tiga Baca untuk mengangkat masalah fundamen kemahasiswaan, yaitu literasi dan diskusi yang mengalami penyusutan (walaupun digagas oleh calon borjuis, atau lebih tepatnya pemilik modal), penulis merasa berani pula untuk mengomentari acara yang digagasnya, disamping merasa menjadi temannya, penting sangat untuk memberi apresiasi, komentar, dan pendapat yang sebisa mungkin objektif tanpa embel-embel nepotis.

Dari deskripsi yang coba saya rangkai di atas, kita dapatkan simpulan bahwa gagasan dasar acara ini adalah gagasan yang sebenarnya (dan harus diakui), gagasan yang usang. Penuh debu dan kotoran cibiran, itulah gambaran yang sangat pantas untuk sebuah gagasan dasar dari studi club Tiga Baca.

Kalau kita berkaca dari zaman melubernya informasi ini, yang paling normal dan relevan dari sebuah gagasan diskusi, studi pengetahuan, atau komunitas adalah dengan media online. Berbasis foto, vidio, dan suara, bahkan animasi adalah bentuk paling relevan dari zaman ini, dengan dasar bahwa "setiap orang" lebih khususnya mahasiswa tak lekang dari media online, dan dari itu menghasilkan uang.

Namun, ada seorang pemberani yang berani beneran untuk kembali pada gagasan usang, ketinggalan zaman, dan kentang, untuk membentuk suatu diskusi yang kuno. Yaitu membentuk acara ofline, dengan dan dari mahasiswa juga untuk mahasiswa yang beruang di luar kampus dan ormek, atau bernama indie.

Perlu diingat bahwa tiga baca harus dibedakan dengan Borjuis Fauzi dan Kopi Sentris sebagai relasi produksi, pengumpul modal untuk melengkapi teori kapitalisme. Sebab, Tiga Baca walaupun tak terpisah dengan Kopi Sentris adalah anak pikiran dari tiga pemikir berani penggagasnya, dan karena ia anak pikiran, hiduplah ia sendirian di rimba video TikTok, dan kekerdilan pikiran mahasiswa karenanya.

Ah, dari tadi saya hanya memuji-muji Tiga Baca, atau katakan hanya memberi nilai positif yaitu berani dan kembali kepada keusangan. Sekarang saatnya saya menulis yang saya anggap kurang, kebocoran ide, atau bahasa kerennya kritik. 

Kritik pertama adalah terlalu luasnya bahasan, bahkan tanpa batasan untuk dua acara yang telah berlangsung (baca buku, dan baca manusia) minggu ini. Tema atau kajian yang menjadi pokok pembahasan dari baca buku misalnya, "Baca Buku Jendela Ilmu?" dan baca manusia "Human Being" menjadi bahasan percakapan yang berwarna kabur dan campur baur antardisiplin ilmu.

Dengan tema human being, kita bisa memasukkan seluruh poin homo sapiens, dan homo deus-nya Noah sekaligus untuk menjadi penutup bahasan, setidak-tidaknya dalam disiplin ilmu sains. Lalu, bagaimana kalau kita mau memasukkan unsur disiplin filsafat di dalamnya, atau psikologi, atau dari antropologi, bahkan dari sastra? Bukankah ia adalah percakapan seumur hidup hanya untuk mencapai salah satu disiplin itu, untuk membicarakan human being?

Dengan pembicara dari jurusan BKI, yaitu Aira dengan pembahasan khas konseling, setidaknya dari acara baca manusia memiliki batasan yang tegas, dengan apa yang dibahas dan apa yang menjadi pokok dari tema human being. Sebab bila terlalu lentur, maka penulis kira pembicaraan akan masuk dalam alam gaib penuh misteri, sebab manusia di tilik dari kemunculan pertamanya adalah suatu misteri dunia jika kita pandang dari sisi akal sehat.

Lalu untuk acara pertama dari baca buku adalah pembahasan yang lebih bisa disebut sebagai sharing pengalaman atau dalam tanda kutip curhat tentang isi buku atau proses dari pembacaan. Buku hanya menjadi alat manipulasi agar seorang yang belum membaca tergugah untuk membaca buku dengan cara curhat.

Namun, kita pinggirkan dulu kekurangan itu, sebab yang perlu diperhatikan ialah keberlanjutan acara dengan dukungan peserta, sebab umurnya juga masih satu minggu kurang. Maka, setidaknya apresiasi untuk berani membangun Tiga Baca adalah hal yang patut kita beri dukungan, yakni dengan datang, duduk, dan ikut diskusi.


Penulis: Alfin
Editor: Putri
Lebih baru Lebih lama