Upaya Kemacetan Gerakan Mahasiswa dengan Peradaban Tontonan dari llosa

Doc. LSO Madju (ketika matahari mulai bersinar)


Apa yang dimaksud dengan peradaban tontonan?

Yakni dunia di mana tempat teratas dalam skala nilainya diisi oleh hiburan, di mana bersenang-senang, melarikan diri dari kesuntukan, menjadi hasrat universal. Definisi tersebut merupakan kutipan dari kumpulan esai pilihan dari penulis Mario Vargas llosa yang dikumpulkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, berjudul Matinya Seorang Penulis Besar.

Siapa Vargas llosa? Ia adalah penulis sekaligus politikus asal Peru. Tidak main-main, sebagai seorang penulis, ia meraih hadiah Nobel pada umur 74 tahun. Penghargaan yang memiliki prestis dan wajah terkemuka seanterio jagad dunia kepenulisan. Karyanya itu yang menjadikan penghargaan jatuh pada dirinya, yaitu mengenai struktur kekuasaan dalam melawan tekanan, perlawanan, pemberontakan, serta kekalahan individu.

Dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud akan menjlentrehkan tokoh besar kita ini, sebab akan panjang sekali. Yang akan saya coba tulis adalah melihat, (katanya) kemunduran gerakan mahasiswa dari kacamata esai-esai beliau (llosa) untuk mempertimbangkan gejala kemunduran—yang mungkin bila kita sandingkan dengan gerakan pascareformasi pada tahun 2000-an dengan gerakan mahasiswa saat ini, dan lebih khusus lagi di Tulungagung, mundur sudah tidak relevan lagi dipakai untuk menjadi predikat dari konsep pergerakan mahasiswa. Sebab mundur dari apa? Atau kalau maju, pijakannya dari apa? Atau maju dan mundur untuk apa?

Gerakan saat ini, sedikit banyaknya adalah pembenahan internal dan konflik antarorganisasi. Tujuannya berakhir pada internal sendiri, nyuplek di ruang itu-itu saja, dan tak keluar kandang. Di sini, gerakan mahasiswa mengangkat masalah sosial dan merampungkan apa yang menjadi keresahan bersama.

Kalau kita baca esai dari Gus Fayyadl, Bunuh Diri Kelas, kita akan menemukan kesimpulan atau pertanyaan dasar yang diajukan oleh beliau, yakni bisakah mahasiswa memutus segala akses kepada kelas dominan (yang artinya bunuh diri kelas) untuk kembali kepada masyarakat luas, atau kelas bawah?

Gus Fayyadl dalam esaiya baca di sini menjelaskan bahwa mahasiswa sebenarnya memiliki kelas tersendiri, yaitu di antara kelas atas dan kelas bawas. Dikarenakan relasi produksi mahasiswa yang menghasilkan produk “intelektual” yang akan digunakan dalam membentuk barang ataupun relasi struktur yang menguntungkan kaum dominan (kelas atas), sudah dapat dipertimbangkan bahwa mahasiswa bukanlah pekerja atau buruh, dan bukan pula pemilik alat produksi sehingga mahasiswa memiliki kelas di antara kaum bawah dan dominan.

Esai ini disampaikan pada diskusi terbuka Menyoal Orientasi Gerakan Mahasiswa di Tengah Hegemoni Neoliberalisme dan Diskursus Demokrasi FISIP Universitas Indonesia tahun 2011. Pada tahun-tahun itu, mulainya percepatan smartphone yang beruntut pada apa yang ada dalam esainya llosa yang mengkritik sebuah peradaban. 

Seperti yang saya kutip di kalimat awal, peradaban tontonan adalah skala nilai yang setidaknya hanya terpacu pada kesenangan, hiburan, dan lari dari kesuntukan. Hanya seorang puritan fanatik, sebutan dari llosa untuk orang yang melarang masyarakat mencari kesenangan, hiburan, dan humor dari aktifitas kerja yang menyakitkan tubuh dan mental selama hidupnya.

Lalu apa mengubah orientasi hidup menjadi melawan arus? Memang terdapat nilai utama di dalamnya, walaupun konsekuensinya adalah hidup melawan arus itu. Katanya llosa: banalisasi kebudayaan, merebaknya kedangkalan, dan yang utama adalah informasi yang diberikan jurnalisme tak bertanggung jawab yang berisi gosip dan rasan-rasan.

Begitulah setidaknya keadaan umum masyarakat dari kacamata llosa, yang menyangkut Barat dan Asia juga negara ketiga. Ia memang sudah tua ketika menulis esai tersebut, atau seperti kakek penggerutu yang marah-marah pada junior peradabannya. Keluar dari peradaban tontonan menimbulkan konsekuensi yang jauh lebih menyimpang, tentu untuk para penggerak, bahwa arah yang dimaksudkan baik, malah menjadi luber ke mana-mana tak tersisa, dan tak tahan lama.

Andai kata mahasiswa bergerak melawan kebijakan pemerintah untuk masyarakat, dengan jalan apa mahasiswa dapat berinteraksi langsung dengan masyarakat? Bagaimana masyarakat dapat memberi tahu ketidaksukaan kebijakan, tatkala kepada hal yang menyuntukkan dan membosankan, orang-orang pada lari kepada kesenangan yang dengan mudah bisa dicapai dengan harga murah pula?

Pergerakan berdasar membela hak dan martabat rakyat adalah ketika tahun diktator Indonesia masih duduk di kursi kekuasaan. Hari-hari itu, mahasiswa dan masyarakat saling bekerja sama untuk satu tujuan, yakni reformasi. Dan sudah, sudah tercapai kata reformasi dengan turunnya Pak Harto. Namun, banyak pula aktivis yang dulu rela mati demi tujuan bersama itu meninggalkan rumah untuk menaiki tangga kekuasaan, sebut saja Budiman Sujatmiko. Kurang apa ia ketika masih menjadi mahasiswa? Namun, saat tercapai hasil, ia hilang dan masuk ke kandang musuh yang dulu dilawannya.

Begitulah pada masa jaya-jayanya gerakan mahasiswa masih ada. Menjadi inspirasi pergerakan tahun ini? (Mungkin). 

26 tahun lalu, mahasiswa sekarang mungkin baru lahir, termasuk saya. Jauh sekali waktu itu, jauh sekali bentuk dan tujuan gerakan mahasiswa waktu itu. Dasarnya jelas, kemasyarakatan. Namun sekarang, dasar apa yang menjadi pijakan gerakan mahasiswa? Masyarakat telah berubah, tranformasinya sangat menakutkan. 

Lalu, pertanyaan terahir dari tulisan ini adalah bila gerakan mahasiswa telah sadar akan kelasnya, dan memiliki hubungan dengan masyarakatnya, bisakah gerakan mahasiswa memutus akses ke kelas dominan dan membangun kerja sama dengan masyarakat?



Penulis: Alfin

Editor: Putri



Lebih baru Lebih lama