Komisariat Melihat Gender dan Feminisme

Doc. Komisariat UIN SATU Tulungagung 

Waktu malam—perempuan dan laki-laki berkontak kata-kalimat, merangkai bunga-bunga gagasan dari warisan pemikir dan penentang ketidakadilan, ketimpangan, dan stereotip tak masuk akal, dari oleh-oleh budaya feodalistik dan kapitalis yang merusak dasar-dasar kemanusiaan.

Kegamangan, akan gerakan yang relevan bagi PMII UIN SATU Tulungagung, menyebabkan diadakanlah diskusi tentang perspektif gender dan feminisme, dengan harapan muncul suatu percikan api, untuk membakar semangat bahwa perjuangan adalah proses bagi perubahan yang mengarah kepada hal-hal baik, ungkap CO Divisi Daya Guna saat ditanya oleh penulis untuk latar belakang acara ini.

Rabu, 6 Maret 2024, di Komisariat pukul 20.00 dimulai oleh moderator, lalu disambung Sahabat Basyarudin sebagai pemantik diskusi. 

Membahas sudut pandang gender dan feminisme yang didengar dan dilihat sekitar 30-40 orang yang rela waktu istirahatnya, digadai dengan perbincangan yang kadang serius, kadang santai dengan tawa ria dan tepuk tangan dari peserta diskusi.

Setelah pembacaan bersama surah Al-Fatihah, moderator sedikit memberikan gambaran, ia katakan bahwa tahu, mengerti, dan memahami pembahasan akan gender dan feminisme adalah salah satu dasar dan awal sahabat PMII untuk menuju alam sosial di luar kenyamanan individu, kepada kesusahan komunal yang sadar maupun tidak adalah gerbang kesengsaraan yang senyata-nyatanya.

Setelah itu, suara satu-satunya dalam ruang diskusi diserahkan moderator untuk pemantik, agar dapat memulai isi dalam diskusi kali ini. Dengan berdiri di depan papan tulis putih, Sahabat Basyarudin yang lebih akrab disapa Ncue memulai dengan mendefinisikan seks dan gender. 

“Siapa yang tahu apa perbedaan seks dan gender?” tanya Ncue kepada peserta. Lalu, salah satu peserta mengangkat tangan, ia katakan bahwa seks adalah kelamin, ciri fisik yang ada sejak lahir. Sedangkan gender adalah sikap, karakter, peran, dst.

Pemantik menjelaskan segala seluk beluk tentang seks dan gender. Dengan lambat, dengan metode dialektika peserta serta pemantik menggali sedalam-dalamnya akar dari sebuah ketimpangan juga faktor-faktornya.

Sebelum seks dan gender selesai, ada salah satu peserta yang bertanya tentang hubungan agama dengan ketertindasan gender. Penanya tersebut berkata bahwa bukankah agama termasuk aktor bagi terciptanya subordinasi, khusunya bagi para kaum hawa karena banyak ayat-ayat yang justru mendahulukan, kadang mengutamakan laki-laki ketimbang perempuan.

Foto diambil saat diskusi sedang berlangsung.


Peserta lain mengangkat tangan untuk menanggapi, peserta itu membicarakan bahwa sebenarnya mengaitkan pikiran manusia, hasil dari pemikiran manusia, alangkah baiknya tidak langsung ditautkan pada agama, apalagi tentang doktrin agama atau isi agama itu. Sebab, dalam ayat-ayat pokok sebagai kerangka agama, masih butuh banyak alat dan metode untuk mengeluarkan wacana yang terkandung dalam ayat itu sendiri.

Dan, terjadilah apa yang saya katakan sebuah dialektika. Antara peserta dan pemantik, dan antara peserta bagi peserta yang lain. Peserta perempuan juga mengambil peran dalam perbincangan gender dan feminisme. 4-5 sahabat perempuan yang mengangkat tangan guna bicara, tak geming walaupun dalam kepungan pembicaraan laki-laki. 

Tiga jam setelahnya, atau kurang dari itu, kata terakhir dari pemantik mengakhiri jalan diskusi malam di Komisariat PMII UIN SATU Tulungagung dalam rangkaian Forum Diskusi Komisariat atau FDK.



Penulis: Alfin

Editor: Putri

Lebih baru Lebih lama