Jumat, 8 Maret 2024 di depan Gedung KH Arief Mustaqiem tepatnya di bawah pohon trembesi yang familier disebut pohon pergerakan telah diadakan diskusi rutin oleh PMII Rayon "Pendobrak" Muhammad Yunus (Al-Muys) Komisariat UIN SATU Tulungagung. Kali ini tema yang diambil ialah "Harga Pangan Naik: Meratapi Nasib atau Mengutuk Pemerintah?". Mungkin terdengar sedikit provokatif. Namun, dengan ini minat mahasiswa kiranya akan tertarik untuk mengikuti dan mengemukakan gagasan-gagasan mereka.
Setengah jam berlalu ketika diskusi digelar tiba-tiba gerimis turun. Forum tentu tidak berhenti sampai di situ saja, tetapi langsung pindah ke depan lobby Gedung Saifuddin Zuhri. Mula-mula yang dibahas terkait dampak naiknya harga pangan terhadap petani beras, hingga kemudian, muncul pendapat jika naiknya harga tersebut merupakan dampak positif bagi petani karena dengan naiknya harga beras tentu akan meningkatkan angka ekonomi bagi petani itu sendiri. Tidak selesai di situ, muncul pendapat yang menyatakan jika naiknya harga merupakan dampak negatif bagi petani karena memang tidak masalah dengan naiknya harga beras, yang dipermasalahkan ialah ketidakstabilannya harga gabah terhadap beras yang selisihnya jauh sekali.
Harga beras saat ini berputar di angkatan Rp15.000,00–Rp17.000,00 per kilogramnya sedangkan angka penjualan gabah tidak lebih dari Rp7.000,00 per kilogram dan hal itu bisa dikatakan sebagai harga terendah. Jika harga yang diberikan oleh pembeli di bawah Rp7.000,00, maka petani tersebut malah merugi. Sehingga dengan ketidak stabilan harga tersebut, sebagian petani lebih memilih untuk menyimpan hasil panen untuk kebutuhan pribadi beberapa bulan ke depan, yang mana tindakan tersebut menyebabkan menurunnya angka distribusi beras.
Naiknya harga beras sebelum bulan Ramadhan apakah hal yang mengagetkan? Beberapa orang mengatakan jika hal tersebut merupakan suatu hal yang wajar karena kita semua biasa merasakannya pada tiap tahunnya. Nakun, pada tahun ini merupakan kenaikan harga yang paling tinggi pada beberapa bulan terakhir dan ini bisa dikaitkan jika faktor yang mempengaruhi adalah faktor politik dan pembangunan. Masih hangatnya suasana pergantian presiden dan wakil presiden berdampak pada melesatnya pembangunan di berbagai daerah yang menimbulkan lahan sumber daya semakin minim. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras pada tahun 2021 sebesar 31,36 juta ton sedangkan angka konsumsi sebanyak 81,51 per kapita.
Lalu, apakah bansos menjadi solusi dari masalah tingginya angka konsumsi masyarakat dibanding angka produksi beras? Ya, memang betul, tetapi itu hanya sebuah taktis saja. Sebagai penenang sejenak. Pemerintah hanya memikirkan solusi jangka pendeknya. Bahkan banyak masyarakat yang berasumsi dengan adanya bansos hanya akan menimbulkan rasa ketergantungan dan seharusnya pemerintah mau dan mampu memikirkan solusi jangka panjangnya. Banyak juga pemerintah yang belum terjun sampai ke bawah, malah hanya sampai ke tingkat para tengkulak mengenai kasus menurunnya tingkat distribusi beras di berbagai daerah yang ujungnya memilih impor dari negara-negara tetangga. Sedangkan jika pemerintah mau terjun sampai ke produsen dan melakukan survei, mereka akan tahu masalahnya terkait menurunnya tingkat distribusi beras, entah itu karena gagal panen atau tidak stabilnya harga ataupun masalah lainnya.
Kesimpulan dari diskusi rutin kali ini ialah pemerintah diharapkan mampu menangani masalah terkait kenaikan harga pangan, terutama pada beras. Sebab, turunnya harga beras sangat berpengaruh pada sumber pangan lainnya. Solusi yang diharapkan muncul dari permasalahan ini ialah solusi jangka panjang, solusi yang berkelanjutan. Dan tentunya, yang bisa mengerti solusi yang tepat ialah pemerintah yang sejak awal sudah memiliki kewajiban sebagai mandataris rakyat untuk menyejahterakan warga dan negara.
Penulis: Fauzi "owner kopi sentris"
Editor: Putri