Saat Pengurus Cabang PMII menyianyiakan waktu Ramadan dengan meniadakan pergerakan, bahkan suara ontran-ontran, sedikit banyaknya untuk menyambut datangnya bulan turunnya Al-Qur’an. Segenap perempuan dari Rayon Rumi dan Persiapan dengan motivasi mumpung momen langka telah menguasai pawon—dapur, sebagai pengayom peserta diskusi, bahkan hal detail semacam membuat kopi untuk bertanggungjawab atas keringnya kerongkongan seluruh manusia yang berada di dalam acara diskusi Rayon Jalaludin Rumi dan Persiapan.
Tausiyah bulan Ramadan atau disingkat TABRUD, adalah agenda berkala-terbatas pada saat bulan Ramadan. Rayon Ralaludin Rumi sebagai penginisiatif acara ini pernah kami ulas baca di sini sehingga tulisan ini tidak akan membahas perihal acara dan tetek bengek di dalamnya, melainkan bagian penting dalam acara ini yang hampir selalu terlupakan, yaitu perihal penguasa pawon yang mencakup dapur, kopi, dan jajan. Siapa lagi kalau bukan sahabat-sahabat perempuan?
Ada tiga perempuan yang kami temui ketika acara sudah berakhir. Tiga-tiganya berasal dari Angkatan 2022 dan satu di antaranya adalah anggota Rayon Persiapan. Imroatu Sholihah, Hiemafatul Nur Afifah, dan Luthfatul Husna adalah nama-nama sahabat(i) penguasa pawon kontrakan Rayon Rumi dan Persiapan.
Sebagai penguasa pawon, yang terpenting adalah memberikan pengayoman bagi peserta diskusi.
Mereka bertiga bertanggung jawab atas keringnya kerongkongan Sahabat Ambon, yang bertepatan menjadi moderator pada saat Sahabat Kelvin Ferdinans, Kader PMII Angkatan 2019 menjadi pemantik sekaligus pemateri kelima dalam rangkaian acara TABRUD: Sekolah Ideologi dengan tema “Fasisme” tertanggal 26 Maret 2024 pukul 20.00 WIB–selesai. Mereka, tiga orang perempuan penguasa pawon ini juga memberikan solusi bagi para peserta diskusi saat kepala peserta merekah atau hampir pecah ketika mendengar uraian panjang serta dalam akan sebuah paparan ideologi dunia. Kopi dan cemilan adalah jalan keluar yang mereka bertiga berikan.
Ketika kami tanyai, “Bukankah mengandung ketidakadilan ketika jumlah perempuan yang sedikit, ketimbang laki-laki yang banyak, justru disuruh menjadi 'seperti' pembantu di acara TABRUD ini?” Mereka lantas menjawab bergantian. Sahabat Hima dengan tegas menjawab tidak, karena memang membuat kopi dan cemilan atas inisiatif kami, bahkan sebelum kami dimintai tolong oleh Pak Yon Safi’i maupun Pak Yon Na’im, atau juga Mas Alam.
Lalu Sahabat Iim menimpali, “Bahwa memang benar apa yang disampaikan oleh Sahabat Hima, karena memang dari awal hingga saat ini acara TABRUD berlangsung, kami adalah penanggung jawab pawon." Kira-kira begitu yang ia sampaikan.
Sahabat Luthfa juga bercerita, ketika mereka bertiga (sebagai penguasa pawon) sedang menjerang air atau mengaduk es, perbincangan di dapur tak kalah menarik dibanding acara TABRUD itu sendiri, karena di situ, mereka bisa deep talk. Entah membincang soal kehidupan, dosen yang kaku kayak batu, atau bahkan politik. Ya, mereka berbicara politik, walau Sahabat Iim menimpali langsung dengan kalimat “Sok politik sih, Mas, kalau itu,” lalu gelak tawa terdengar kencang, kencang sekali.