Seberapa luaskah dunia? Sejauh kaki melangkah dan sebanyak wawasan yang ada di kepalamu.
Begitu kira-kira ungkapan singkat salah satu akademisi kampus. Sedikit terkejut, sebab jawaban yang saya prediksi bersifat geografis, kalkulatif, matematis, objektif, dan sejenisnya. Tentunya, ungkapan di atas bukan didasarkan atas kajian ilmiah positivistik sebagaimana sains modern, melainkan putusan filosofis yang kadang unpredictable.
Saya tertarik menyoroti hal di atas terutama bagaimana aspek filosofis yang mungkin menjadi putusan kalimat itu. Bagaimana perjalanan hidup individu menjadi tolak ukur luasnya dunia. Tentu dunia yang dimaksudkan ialah dunia yang subjektif. Karena itu, luas dunia menurut masing-masing individu sangat mungkin berbeda. Aspek penting yang harus ditelisik ialah eksistensi dari keberadaan dunia dan individu itu sendiri. Tanpa aspek ini sulit menemukan argumentasi filosofisnya.
Pertama, dunia dengan seperangkat hukum alamnya. Dunia tempat kita mengada. Dunia yang dibanjiri fenomena luar biasa. Pertanyaan menariknya ialah, apa yang terjadi jika di bumi ini tidak ada kehidupan manusia? Tentu banyak jawaban spekulatif tentang ini. Namun, apa pun yang terjadi dunia tetap apa adanya. Tetap eksis. Tanpa esensi. Dunia dimana tidak ada kaitannya dengan perasaan intersubjektif manusia. Seperti halnya prinsip fenomenologi Edmund Husserl "Zurück zu den Sachen selbst!" (Kembalilah pada benda dalam dirinya). Dunia adalah benda yang berputar.
Kedua, eksistensi manusia sebagai subjek yang berpikir. Akal menjadi alat utama membaca dunia. Gary Cox, seorang eksistensialis Sartrean menegaskan bahwa dunia itu akumulasi dari interpretasi aktif manusia. Mudah saja membenarkan pendapat ini, sebab substansi dari sesuatu tidak mungkin ada tanpa tindakan reflektif. Juga berlaku sebaliknya, subtansi tidak terbayangkan jika manusia tanpa daya pikir. Konsep kunci untuk menemukan argumentasi filosofis ini ialah bahwa eksistensi mendahului esensi. Ada dulu, menafsirkan kemudian.
Kalimat pembuka di atas berdimensi subjektif. Jika daya pikir individu berbeda dengan lainnya, maka keluasan dunia juga berbeda-beda. Inilah yang menjadi kenikan manusia, dimana diisi oleh kemajemukan berupa perbedaan persepsi. Menjadikan individu memiliki kekhasannya sendiri. Persepsi-persepsi subjektif tersebut dengan demikian membuat subjek tidak tergantikan, alian autentik.
Sudah mulai terbaca kan? Mengapa dunia itu seluas langkah kaki dan sejauh pemahaman kita? Simpelnya, autentisitas individu mewakili pandangan dirinya terhadap dunia. Inilah yang membedakan antarindividu. Berbagai interpretasi turut mewarnai kehidupan.
Penulis: Namati
Editor: Putri