Tanggal 8 Maret mendatang akan ada peringatan International Women's Day (IWD). Seperti namanya, hari peringatan ini dilakukan banyak negara di penjuru dunia untuk menyuarakan hak-hak perempuan. Ini agenda tahunan besar-besaran yang bertujuan menyangkut hajat hidup manusia, khususnya perempuan.
Dua tahun silam, acara ini bertema #BreakTheBias sebagai bentuk perlawanan terhadap patriarki. Dalam website resminya IWD menegaskan bahwa setiap individu berpotensi menjadi korban sekaligus pelaku berbagai bentuk diskriminasi gender, karena itu mengikis bias-bias menjadi langkah penting untuk kesejahteraan hidup. Sedangkan tahun lalu IWD mengkampanyekan #EmbraceEquity. Tagar ini juga menjadi simbol perlawanan terhadap ketimpangan yang terjadi di ruang sosial. Penggunaan term 'equity' secara fonologis mirip dengan 'equality'. Meski berbeda sama sekali secara harfiah, keduanya bersifat ramah gender.
Bayangkan jika dunia terjadi kesetaraan gender. Dunia dimana terbebas dari bias, stereotipe dan diskriminasi. Dunia yang beragam, adil dan inklusif. Keadaan dimana perbedaan menjadi nilai yang dirayakan. Dengan kebersamaan kita semua dapat berjuang menuju kesetaraan. Secara kolektif kita dapat #InspireInclusion. Begitu kira-kira terjemahan di menu utama website internationalwomensday.com.
Sebuah perayaan menjadi penting bagi individu maupun kelompok. Ini merupakan tanda penghargaan atas pencapaian terhadap sesuatu. Dalam hal ini, tidak ada persoalan dalam sebuah peringatan momentual, apalagi menyoal tentang kebebasan. Namun, di sisi lain menyuarakan keadilan juga menandakan keadaan dunia yang sedang tidak baik-baik saja. Dunia yang sakit. Tidak perlu menjadi dokter untuk mendiagnosa penyakit masyarakat. Logikanya sederhana jika sebuah peradaban sudah adil, maka tidak diperlukan kampanye perlawanan tentang ketidakadilan. Jika dunia sudah seimbang, maka tidak ada diskriminasi atas nama gender.
Kekerasan yang Wajar
Sejarah peradaban manusia adalah sejarah penindasan. Tradisi-tradisi yang diskriminatif berjalan ratusan tahun lamanya. Dalam kadar tertentu, ilmu pengetahuan berkontribusi atas ketidakadilan tersebut. Disamping sisi norma, budaya dan habituasi juga memperkeruh keadaan baik disadari atau tidak. Kondisi ini mewujud dalam berbagai bentuk, misalnya marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan dan beban ganda (Fakih, 1996). Banyak pemikir menyebut akar ketimpangan ini ialah patriarki.
Meskipun terdapat gerakan yang mencoba membongkar struktur patriarkis lahir pada sekitar pertengahan abad 19, namun praktik ini belum membuahkan hasil yang total. Banyak di belahan dunia muncul berita-berita tindak kekerasan seksual sampai hari ini. Misalnya, di Indonesia seringkali bermunculan kasus yang berbau ketimpangan gender (dalam berbagai bentuk). Artinya, sudah sekitar 200 tahun patriarki belum hilang di muka bumi sejak munculnya gerakan yang disebut feminisme. Apa yang menyebabkan hal ini masih bertahan sehingga terkesan sulit dihilangkan?
Simone de Beauvoir dalam feminisme eksistensialis telah menjawab persoalan tersebut. Baginya, segala bentuk ketimpangan merupakan normalisasi atas ketidakadilan. Secara singkat, berbagai tindakan kekerasan dianggap wajar bahkan sampai pada tahap radikal dipahami sebagai takdir. Pandangan ini tertuang dalam bukunya yang berjudul Ethics of Ambiguity (1948).
Pada mulanya model gagasan Beauvoir terilhami melalui karya fenomenal eksistensialisme Jean Paul Sartre. Ia mengambil konsep Diri (self) dan Liyan (other) yang kemudian menjadi landasan feminismenya. Diri dipahami sebagai subjek yang memiliki kebebasan absolut (manusia seutuhnya), sedangkan Liyan sebaliknya. Alhasil sikap yang muncul terhadap 'other' berupa ketidakpedulian, hasrat, sadisme dan kebencian. Dengan begitu, hububgan Diri-Liyan adalah relasi yang konfliktual.
Beauvoir melihat struktur masyarakat patriarki menempatkan perempuan sebagai Liyan. Maka, dari sinilah misoginisme muncul dan merupakan konsekuensi logis stigmatisasi, misalnya perempuan dianggap "pembawa sial". Dengan begitu, mengidentikkan perempuan sebagai 'other' adalah bentuk penindasan. Menjadikan perempuan tunduk dibawah dominasi laki-laki yang diidentifikasi sebagai 'self'. Dengan kata lain, laki-laki ialah subjek yang bebas, manusia seutuhnya. Sedangkan perempuan sebaliknya, subjek yang dikekang.
Kembali lagi pada persoalan patriarki yang masih subur di muka bumi ini. Beauvoir menggarisbawahi klaim Liyan terhadap perempuan dikarenakan normalisasi yang dilakukan oleh perempuan sendiri. Ia mengambil analogi teori dialektika Tuan-Budak dari G.W.F Hegel. Di dalam teori ini Hegel ingin menjelaskan permasalahan ekonomi tentang adanya tuan (master) dan budak (slave), yang sama-sama menuntut pengakuan. Artinya, si tuan menuntut pengakuan sebagai si tuan dan eksistensinya ada karena adanya si budak. Oleh sebab itu, hubungan tuan-budak bagi Hegel adalah hubungan kesatuan yang saling membutuhkan.
Betapapun relasi tuan-budak ini bersifat mutualisme, Beauvoir menolak bahwa adanya hubungan yang timbal-balik seperti yang digambarkan oleh Hegel, bahwa si tuan membutuhkan pengakuan si budak. Pada kasus hubungan laki-laki dan perempuan, si laki-laki tidak membutuhkan pengakuan dari perempuan sebab pekerjaan si budak bukan pekerjaan kasar melainkan pekerjaan yang “memberi hidup", pekerjaan yang seharusnya dilakukan karena kodratnya. Perbedaannya terletak pada keengganan perempuan menggugat otoritas laki-laki dan sering otoritas tersebut dianggap wajar (Arivia, 2013). Karena itu perempuan menginternalisasi nilai-nilai patriarkis ke dalam dirinya.
Dalam bukunya Beauvoir, Ethics of Ambiguity, menggambarkan subjek yang tertindas selalu "memistifikasi" keadaannya. Artinya, pihak yang tertindas tidak merasa ditindas dan selalu menganggap apapun yang terjadi bukanlah penindasan. Situasi ini adalah produk dari patriarki yang tertanam dalam benak subjek. Jadi, bila situasinya adalah menindas, dengan demikian situasi tersebut dapat memaksa subyek menerima penindasan tersebut. Parahnya lagi, kondisi ini tanpa disadari oleh perempuan (juga mungkin laki-laki yang tertindas).
Langgengnya kekerasan berbasis gender disebabkan oleh manipulasi kesadaran. Fenomena yang digambarkan oleh Beauvoir di atas menjadikan kebebasan amat sangat penting. Kondisi tertindas yang dikelabui kesadaran palsu dan perasaan pasrah, hanya dapat dipatahkan oleh sikap menjaga kebebasan berpikir. Maka, menginterpretasikan ulang pemahaman akan ke-Liyan-an perempuan melalui gerakan intelektual dapat memutar balikkan persepsi yang bias. Upaya ini saya rasa telah dilakukan bertahun-tahun oleh para aktivis melalui website International Women's Day. PMII sebagai basis gerakan intelektual tidak boleh mengabaikan hal ini.
Penulis: Namati
Editor: Putri