Mengurai Problem Epistemik Kader PMII

 Mengurai Problem Epistemik Kader PMII



 Semua organisasi kampus, baik internal maupun eksternal, saya yakin berorientasi pada proses perkembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Termasuk upgrading cara pandang maupun pola pikir. Bahwa jika ditemukan orientasi yang berbeda, itu soal lain. Yang jelas, sependek yang saya ketahui, orientasi tersebut menjadi arah gerak utama dalam menjalankan organisasi.

 Namun, selama saya mengikuti organisasi, orientasi tersebut belum masif dilakukan oleh mereka yang mengelolanya. Tidak terkecuali PMII itu sendiri yang seringkali terfokus pada urusan teknis dan permukaan luar belaka (hardware). Bukan berarti hal teknis tidak penting, karena tanpa itu organisasi tampaknya ga akan berjalan.

 Ada hal yang tidak kalah penting menurut saya, yang juga menjadi titik keberangkatan tulisan singkat ini dibuat. Hal itu antara lain kemampuan berargumen, melawan argumen, keberanian menyatakan pendapat, menganalisa sebuah topik, mengolah informasi, dan semacamnya. Semua urusan ini berkaitan erat dengan horizon wawasan pengetahuan (software) yang dalam kadar tertentu mempengaruhi pandangan dunia atau worldview kader PMII di banyak lini kehidupan. Ini yang kurang dimiliki oleh sebagian besar kader di lingkup Komisariat UIN SATU. Itulah alasan mengapa saya sebut sebagai problem epistemik. Berangkat dari keresahan ini, mari kita bahas.


“seseorang akan berpikir rasional sehari jika dipatahkan keyakinan dogmatisnya, tetapi orang akan berpikir rasional seumur hidupnya tatkala dirobohkan pemikiran dogmatismenya”


Terdapat konsekuen demarkasi yang tegas antara keyakinan dan pemikiran. Dalam hal ini, perihal keyakinan cukup kembalikan saja kepada yang bersangkutan, apalagi menyangkut keyakinan beragama. Akan tetapi, pemikiran menjadi persoalan yang krusial untuk diperkaya dan dikembangkan, apalagi mahasiswa PMII.

Sejalan dengan Trilogi PMII, terdapat tiga nilai yang sama secara substansial antara lain fikir, intelektualitas dan kebenaran. Nilai ini bersifat parsial, satu sama lain memiliki benang merahnya. Pertama, daya fikir menuntut untuk senantiasa bertanya. Dalam tradisi filsafat, pertanyaan mengandaikan sebuah jawaban yang konkrit dan logis sehingga membentuk bangunan pengetahuan yang kokoh. Kuncinya adalah kuriositas alias rasa keingintahuan yang tinggi. Meskipun setiap jawaban memunculkan pertanyaan-pertanyaan lain, tapi bukankah dari sini ilmu pengetahuan berkembang dan saling berdialektika?

Kedua, intelektualitas sebagai daya olah informasi. Semua pengetahuan yang dimiliki seseorang dapat diolah menjadi model pengetahuan yang ‘baru’. Kemampuan mengolah sesuatulah yang menjadikan orang berpikir kritis. Hal ini tidak mungkin dilakukan tanpa logika yang sistematis. Karena itu, ilmu logika menjadi penting untuk dipelajari oleh kader PMII.

Terakhir yaitu kebenaran. Mengutip Cambridge Dictionary terdapat dua makna tentang kebenaran. Pertama, a fact or idea that people accept is true, merujuk pada kebenaran mayoritas. Singkatnya, meski kebenaran model ini seringkali dianggap subjektif, sesuatu dianggap benar jika sesuatu tersebut diakui oleh banyak pihak. Kedua, the real facts about a situation. Saya rasa makna kedua ini mengisyaratkan objektivitas. Kebenaran yang tidak tersentuh oleh ke-aku-an manusia. Sebagai contohnya, si A merasakan panas pada air didepannya, sedang si B biasa saja (subjektivitas), padahal air tersebut memiliki suhu 50 °C (objektivitas). Inilah yang saya sebut sebagai ke-aku-an. Meski kedua makna tersebut terkesan bertabrakan, setidaknya sebagai mahasiswa mengambil keputusan didasarkan pemikiran yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan demikian, untuk menjadi intelektualis, kader Pergerakan sudah selayaknya mengembangkan kemampuan berpikir yang organik. Melalui sebuah pertanyaan yang menuntut jawaban, seseorang akan mendapatkan pengetahuan yang tidak tergoyahkan. Melalui daya olah informasi, seseorang akan menjadi kritis. Sehingga, mahasiswa PMII mampu menyentuh kebenaran. Inilah harapan untuk mengikis problem epistemik yang bisa meningkatkan ‘piranti lunak’ kader. Inilah role model yang kita butuhkan. Kader yang memiliki daya saing untuk dikontestasikan. Dan satu-satunya jalan untuk mencapai tahap ini tidak mungkin dilalui tanpa tradisi literatur yang kuat.


Penulis: Reynal

Lebih baru Lebih lama