Kritik Refleksi: Menuju "Ruwat, Rawat, Kuat"
Di tengah hiruk-pikuk pergerakan mahasiswa, PMII, yang dulunya lahir untuk menjadi agen perubahan dan suara keadilan, kini terjebak dalam rutinitas politik praktis yang mengaburkan cita-cita pendiriannya. Organisasi ini, yang seharusnya menjadi benteng perlawanan terhadap ketidakadilan, justru sering lebih fokus pada kepentingan kekuasaan jangka pendek, mengabaikan misi sosial yang lebih besar. Seiring berjalannya waktu, idealisme mahasiswa yang dulu begitu membara, kini terkikis oleh kenyataan politik dan sosial yang lebih pragmatis.
PMII harus kembali pada nilai-nilai fundamentalnya: Islam yang rahmatan lil-‘alamin dan keadilan sosial. Kita, sebagai kader, tidak boleh terjebak dalam politik praktis yang mengalihkan fokus dari perjuangan ideologis. Sejarah PMII mengajarkan kita bahwa perubahan sejati hanya dapat terjadi dengan keberanian melawan ketidakadilan, bukan dengan berkompromi dengan kekuasaan yang korup.
Namun, realitasnya, kita terjebak dalam jargon kosong dan birokrasi yang membatasi ruang bagi inovasi. Kader muda, yang seharusnya menjadi agen pemikiran kritis, malah terkungkung dalam struktur yang kaku dan tidak demokratis. Kaderisasi, yang seharusnya menjadi sarana pembentukan karakter, kapasitas intelektual, dan pemahaman ideologi yang mendalam, kini lebih sering dijadikan alat untuk mencapai kepentingan pribadi atau kelompok. Proses ini tidak lagi dilandasi oleh tujuan untuk memperkuat persatuan dan perjuangan ideologis, melainkan digunakan untuk mencapai posisi kekuasaan, entah di tingkat organisasi atau luar organisasi. Kaderisasi semacam ini telah mengabaikan esensi pembelajaran dan pembentukan pemimpin yang visioner.
Kita kehilangan identitas sebagai pelajar dan pejuang, dan lebih fokus pada pencapaian posisi, bukannya pada substansi pemikiran yang dapat membawa perubahan. Proses kaderisasi yang mestinya menjadi ruang untuk mendalami nilai-nilai perjuangan dan membentuk karakter, kini justru terdistorsi oleh kepentingan pragmatis yang hanya menguntungkan segelintir orang. Keberhasilan kaderisasi tidak diukur oleh kualitas pemikiran dan integritas, tetapi lebih kepada siapa yang berhasil meraih posisi tertinggi dalam organisasi.
Kepemimpinan di PMII seharusnya memberi ruang untuk ide-ide baru, bukan sekadar mengikuti keputusan dari atas. Kita tidak boleh terjebak dalam lingkaran yang hanya memperkuat struktur kekuasaan yang ada, melainkan harus menciptakan ruang bagi pembaharuan yang berdasarkan pada prinsip keadilan dan kemanusiaan.
Kritik ini bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk mengingatkan kita akan tujuan mulia PMII: memperjuangkan keadilan, kemanusiaan, dan perubahan struktural. PMII harus berani meruntuhkan ketidakadilan dalam segala bentuknya, mengikuti jejak Tan Malaka yang mengajarkan kita untuk berani melawan struktur yang menindas.
Penulis: No name
Saatnya bagi kita untuk kembali ke jalur yang benar, untuk berpikir kritis dan bertindak demi perubahan yang sesungguhnya. Jika kita gagal bergerak, sejarah akan mencatat kita sebagai generasi yang hilang, yang hanya sibuk dengan diri sendiri, sementara ketidakadilan terus merajalela. Kita harus bertindak, dan bertindak sekarang.
"Penulis ini lebih memilih tetap berada dalam bayang-bayang, membiarkan kata-kata berbicara lebih lantang daripada identitas. Hidup dalam pergulatan antara gagasan dan kenyataan, ia menulis untuk mereka yang mencari makna di balik kata."