Banyak sekali yang
dikatakan pada hari Pahlawan, tentang Pahlawan, dan begitu banyak nasihat dan
petuah yang aus. Sudah tidak dipungkiri, tak jarang kita hanya sekedar memperingati,
bukan merefleksi, apalagi aktualisasi. Di hari pahlawan, kini banyak masyarakat
Indonesia yang beramai-ramai mengupdate story dan memposting gambar tokoh
pahlawan bangsa di berbagai sosial media. Yang dilakukan oleh masyarakat itu
merupakan bentuk ungkapan penghormatan dan juga penghargaan kembali terhadap
jasa-jasa pahlawan yang rela mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk
mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sangat disayangkan
jika kita hanya terpacu pada unsur seremonial saja dalam memperingati hari
pahlawan. Momentum yang sangat berharga ini selalu kita peringati setiap
tahunya, harusnya menjadi kesempatan bagi kita untuk menghayati nilai-nilai dan
pesan perjuangan yang dibawa oleh para pejuang bangsa. Refleksi juga bukan
momen mengulas kembali kisah-kisah sejarah para pejuang bangsa. Refleksi adalah
upaya untuk merelasikan dan merealisasikan apakah kehidupan kita sekarang sudah
sejalan dengan apa yang dipesankan para
pahlawan bangsa, dan apakah sudah dilakukan secara benar. Dengan begitu,
refleksi merupakan evaluasi kehidupan kita selama ini, sudahkah searah dengan
pesan moral dan perjuangan para pahlawan kita. Bentuk aktualisasi di era
milenial sebagian besar terdapat pada peran para pemuda. Indonesia butuh
pahlawan-pahlawan muda untuk membawa negara kita bersaing dengan negara lain,
dengan menjawab berbagai tantangan dan perkembangan zaman.
Silsilah Pertempuran 10 November
1945
Resolusi jihad 22
November 1945 yang sudah ditetapkan menjadi Hari Santri Nasional sebagai cikal
bakal lahirnya pertempuran dahsyat 10 November 1945, keduanya memiliki histori
yang berkesinambungan. Sejarah resolusi jihad sendiri tepatnya pada 17
September 1954 bermula saat Presiden Ir. Soekarno mengirim utusan kepada Hadratussyaikh
KH Hasyim Asy’ari untuk menanyakan
bagaimana hukumnya membela tanah air dari ancaman penjajah. Kemudian KH. Hasyim
Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad yang bisa membangkitkan keyakinan dan semangat
masyarakat untuk megusir para penjajah, bahkan Kyai Hasyim Asy’ari menyatakan:
“Dan barang siapa yang gugur dalam melawan penjajah, adalah mati syahid”. Dalam
konteks tersebut kita perlu mengetahui. Kenapa kyai hasyim asy’ari, berani
megaransi bahwa gugur dalam pertempuran adalah mati syahid?
Karena beliau
menegaskan bahwa membela tanah air
melawan penjajah hukumnya fardlu ain atau wajib bagi setiap warga negara.
Pernyataan tersebut dapat di analisis menggunakan konsep Maqashid Syari’ah,
pokok atau tujuan dari maqashid syari’ah adalah berupa dhoruruiyul khoms(Lima
hal yang wajib dipertahankan), yakni: Hifdlu Nafs(Menjaga Jiwa), Hifdlu
‘Aql(Menjaga Akal), Hifdluddin(Menjaga Agama), Hifdlu Nasab(Menjaga
Keturunan), Hifdlu Mal(Menjaga Harta). Lima hal tersebut wajib dijaga
hingga titik darah penghabisan.
Kita semua paham, para penjajah
kala itu sudah sangat nyata melanggar kelima asas tersebut. Maka tinjauan maqashid
syari’ah, atas landasar faktor tersebut, lazimlah bila Hadratussyaikh KH.
Hasyim Asy’ari menyatakan:
“Cinta tanah air sebagian dari iman, wajib bagi setiap warga negara Indonesia melawan penjajah, dan barang siapa gugur melawan penjajah adalah mati syahid”.
Sudah saatnya meninjau kembali nilai-nilai sejarah perjuangan. Jangan hanya memperingati, mari sama-sama berefleksi atau mengaktualisasikan, yang sebelumnya hanya terfokus pada aspek seremonial saja. Sangat penting untuk menghayati nilai-nilai serta pesan para pahlawan nasional kita, menghargai pengorbanan mereka, dan memastikan tindakan kita selaras dengan prinsip moral mereka. Kini pahlawan muda sangat dinantikan bagi kemajuan Indonesia, menghadapi tantangan dan merangkul perkembangan modern. Maka dari itu pertempuran 10 November 1945 dan resolusi jihad pada 22 November 1945 saling terkait, menampilkan sejarah perjuangan yang berkelanjutan. Dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip melindungi kehidupan, kecerdasan, agama, keturunan, dan kekayaan, yang terdapat pada maqashid syari’ah dianggap wajib dipertahankan terhadap ancaman penjajah, sehingga para pejuang yang gugur dianggap sebagai syuhada.
Penulis: Fadhil Ahmad