Cerpen: Kinara dan Kepik


Kinara dan Kepik

Oleh: Shohibun Naum

“Bau apa ini? Tengik!” teriak Kinara ketika ia sedang berbincang dengan temannya di depan kosnya.

“Ini bau kepik. Biasanya kepik mengeluarkan cairan tidak sedap ini karena mereka merasa terancam. Bau ini juga yang digunakan kepik untuk memanggil koloni mereka.”

“Ah, kamu kayak ahli serangga saja ngomong begitu.”

Saat itu memang hari telah malam dan kedua anak kuliah ini, Gita dan Kinara sedang berbincang tentang banyak hal. Mereka berbicara tentang topik-topik yang cukup acak atau random. Mulai dari tetangga kamar mereka yang punya kebiasaan jorok, satu anak pemurung yang ada di kelas mereka, bahkan mereka mencapai pada pembahasan vulgar seperti kenapa laki-laki suka c**i.

Selang dua jam berlalu sejak pukul 18.30, salah satu teman Kinara yang bernama Lia menelepon.

“Siapa sih ini? Oh ... anak sok alim mau mampir kayaknya,” kata Kinara.

“Heh, gaboleh begitu! Dia sering bantu kamu loh kalau waktu ada tugas penelitian. Kamu kan agak kureng kalo lagi matkul metopen.

“Lah, kamu juga iya kan?!”

“Makanya, sama-sama dibantu, ya, gausah gitu!”

Tak lama Lia pun datang. Memang ia adalah anak yang rajin dan cukup penurut. Tak jarang ia menjadi asdos untuk mengisi kelas kosong yang sebenarnya sedang diisi oleh satu dosen pemalas. Bagaimana tidak?! Dosen itu hanya datang ketika sedang UTS dan UAS saja. Malahan Kinara pernah menjumpai dosen tersebut sedang mencuci motor di depan rumahnya saat Lia hendak menyetorkan tugas teman-temannya satu kelas.

“Wih, tumben cepet datangnya. Biasanya lemot,” kata Kinara.

“Ha ha, iya. Pas senggang aja. Tadi di kos gabut pengen ngomong yang asik-asik. Orang yang muncul pertama kali di pikiranku, ya, kamu.”

“Nggak asik sih. Lebih ke serampangan Kinara tuh,” kata Gita.

Mereka pun akhirnya asik ngobrol. Lia yang tentunya menjadi sosok dengan stigma alim seketika dihancurkan oleh Kinara dengan pembahasan-pembahasan yang cukup vulgar.

Ketika waktu menunjukkan pukul 23.00, Lia mulai memperhatikan jam yang ia kenakan di tangan kanannya. “Eh, sudah jam sebelas! Besok pagi aku ada kegiatan pengkaderan organisasi, pulang dulu, ya.”

“Oke, sebenarnya aku dari tadi juga mau tidur. Cukup ngantuk juga ini,” kata Kinara.

Perbincangan mereka pun berakhir dengan pertanyaan, “Kenapa, ya, anak laki-laki suka kebingungan kalo kita mau minta bantuan ke mereka?”

Kinara yang tadinya cukup puas melampiaskan seluruh kegelisahannya melalui obrolan-obrolan rebel-nya kini ia murung lagi, karena memang hingga saat ini ia kebingungan perihal ketidak-konsistenannya dalam menetapkan tujuan hidupnya. Bagaimana tidak?! Kedua orang tua Kinara adalah orang yang cukup sibuk di pesantren dekat rumahnya, membuat ia merasa tidak cukup mendapatkan perhatian walaupun tak jarang ayahnya selalu menawarkan untuk bersekolah di pesantrennya saja.

Sreek! 

Suara kelambu jendela kamar Kinara yang cukup tebal itu ia maknai dengan ‘ruang privasi’. Setelah semuanya menjadi hening, wajah murung Kinara mulai tampak, dan seperti biasa, ia membuka laptop untuk menulis seluruh isi pikirannya yang cukup acak tersebut. Tak jarang ia juga mencari file e-book di internet untuk mencari jawaban-jawaban dari pertanyaan yang ada di kepalanya.

Setelah sejenak mengistirahatkan tangannya, Kinara mulai mencium bau sangit kepik lagi. Ternyata ada kepik berceceran di sepanjang pintu kamar Kinara. Ia bergumam, “Loh, kok kepiknya ada banyak.” Ia tak sadar bahwa bau kepik yang ia buang tadi masih tercium di jari telunjuk dan jempolnya.

Kinara mulai sedikt mempercayai apa kata Gita. “Wah. Ini mah kayak kata orang-orang jaman dulu. Kalo ketemu serangga jangan diganggu, nanti dia manggil temen-temennya.”

Lalu, perhatian Kinara terpecah dan pikirannya mulai liar lagi memikirkan zaman dahulu dan segala perangkat kedahuluannya. Tak lama, atensinya kembali ketika seekor kepik perlahan-lahan menghampirinya. Ia pun langsung refleks bergeser dan melanjutkan pikiran liarnya tentang kemungkinan yang terjadi ketika teringat beberapa sejarah zaman dulu. Namun, ketika gadis itu bergeser, kepik itu berbelok menghampirinya lagi. Kinara pun reflek bergeser lagi, tapi lagi-lagi kepik itu masih menghampirinya. Kini Kinara pun langsung menghentikan fantasinya dan memperhatikan kepik tersebut. Ia bergumam, “Kenapa aku malah ingat kejadian waktu aku kecil?”

Kinara merupakan anak yang dipandang baik oleh teman-temannya waktu ia masih Sekolah Dasar. Bagaimana tidak?! Ayah dan ibunya adalah seorang penerus pemegang estafet keberlangsungan kepengurusan pesantren. Tak jarang ia diarahkan oleh ayah dan ibunya agar tetap belajar di pesantren, tetapi Kinara selalu menolak dan ingin bersekolah di luar. Ia juga menjadi anak yang jarang keluar rumah, karena di rumahnya sendiri terdapat banyak buku-buku milik ayahnya yang membuat Kinara betah di rumah.

Kinara selalu suka bercerita tentang hasil bacaannya kepada teman-temannya di kelas. Walaupun begitu, kebanyakan temannya tidak terlalu suka dengannya karena kebiasaannya yang suka bertanya dan cenderung tidak menghiraukan sopan santun. Dari sini ia sering murung walaupun tak jarang ia menghibur diri dengan melihat serta ikut bermain dengan teman-teman laki-laki di sekolahnya. Namun, Kinara kadang juga terlihat sedang membaca buku di kantin sekolahnya. Kadang beberapa teman laki-lakinya menemaninya membaca buku.

Pengalamannya semasa Sekolah Dasar itulah yang membuat perhatian pikiran Kinara teralihkan. Ia teringat bahwa teman-teman perempuannya yang memiliki circle membuatnya dijauhi. Ia bingung tentang mengapa ia dijauhi, tetapi yang jelas ketika ia bercerita ke circle itu, beberapa respons yang diberikan selalu cenderung menggunakan wajah-wajah yang cukup membuatnya merasa diremehkan.

Lambat laun, ia kembali teringat bahwa kepik itu sepertinya ingin menghampiri Kinara dengan maksud yang sama sepertinya. Entah bercerita atau mungkin sekadar nimbrung. Akhirnya, ia pun meletakkan tangannya di depan kepik tersebut dengan maksud menerima kepik itu walaupun baunya tidak sedap. Namun, anehnya kepik tersebut malah menghindari tangannya. Kinara akhirnya tertawa sendiri dan menganggap kepik itu adalah dirinya. Sikap kepik itu mirip dengannya.


Editor: Putri

Lebih baru Lebih lama