Mungkin
ini akan menjadi malam yang begitu panjang. Detik jam dinding pun terasa lama. Seperti enggan
berpindah dari angka ke angka lainya. Sekarang jam menunjukkan pukul 20.00 WIB.
“Ah,
Sial!” Ketika aku mencoba menyalakan gawai, layar yang tak seberapa besar itu
berubah warna hitam. Sepertinya gawai ini memang benar-benar habis baterai. Mungkin
ini sebab aku menonton banyak video di YouTube
saat istirahat, juga sesudah pulang sekolah karena ada WIFI baru yang sangat cepat koneksinya.
“Aduh,
Chelsi. Kenapa tadi gak lihat jumlah baterai dulu, sih. Jadi gini, kan,”
tuturku memarahi diri sendiri. Aku memukul kepala ringan, kebiasaan dari kecil
saat melakukan kesalahan. Baru ingat kalau Papa dan Mamaku tidak di rumah, aku
semakin merasa kesepian. Gawai habis baterai, di rumah tidak ada orang selain
aku. Sungguh hari yang buruk untuk dipikirkan. Aku meringkuk di kasur
kesayangan. “Kurang pandai kau, Chelsi Margaretha!”
Krieet!
Pintu
kamarku terbuka disertai decitan horor. Suara aneh itu memang sering terjadi
dan sering kudengar karena maklum pintu
kamar sudah sangat tua. Mungkin sebab terdorong angin. Aku berjalan gontai
mencoba menutup kembali pintu kayu itu, tetapi suara itu semakin cepat. Pintu
tua itu pun bergerak sendiri padahal tidak ada angin yang berembus. Ketika bulu
kudukku berdiri akibat decitan-decitan pintu itu, lampu kamarku mati. Dari
tempatku berada, kulihat bayangan hitam lewat dari lorong menuju tangga.
Kebetulan kamarku berada di lantai atas. Aku segera menutup pintu kamar tua itu
dan dengan cepat menuju ranjang.
“Ya Tuhan ... cobaan apa lagi ini? Kenapa,
sih, hari ini aku sial banget? Udah ditinggal sendiri, baterai habis pula,
terus sekarang lampu mati," celotehku dengan perasaan resah.
Sebuah
ide bagus muncul, aku mencoba putar otak. Dari pada aku harus ke bawah mencari
lilin atau senter, lebih baik aku buka jendela saja. Siapa tahu ada cahaya yang
muncul dari depan rumah.
Aku
membuka tirai jendela. "Huft! Untung rumah depan gak mati listrik juga.
Mungkin karena gardu listrik rumahku dan rumah depan beda," gumamku.
Aku
pernah mendengar bahwa rumahku ini termasuk gardu listrik pertama sekaligus
yang paling tua di kompleks ini. Saat aku akan membuka jendela, aku melihat
bayangan hitam berdiri. Spontan aku kaget dan berteriak.
"Aaa!"
Aku menutup wajah dengan telapak tangan, berharap bayangan itu tidak tiba-tiba
muncul tepat di depan wajahku. Pelan-pelan aku membuka sedikit celah dari
jari-jari untuk melihat lebih jelas bayangan hitam itu. Setelah melihatnya,
dengan cepat aku sembunyi. Pasalnya, aku melihat seorang kakek di jendela
lantai dua rumah itu. Kakek tersebut melihat
ke arahku tajam, memakai baju abu asap dan membawa sebuah tongkat. Aku
bertanya-tanya, heran, sekaligus merasa bingung. Siapa dia? Bukankah di rumah
itu tidak ada orang tua yang tinggal di sana? Kakek tadi terus memandangku
dengan wajah menyeramkan. Refleks jantungku berdetak kencang.
Jedug!
Jedug! Jedug!
Dengan
bergetar aku langsung menutup tirai jendela dan langsung mengempaskan badanku
ke kasur. Segera kutarik selimut, lalu menutup seluruh badanku tanpa celah. Langkah
selanjutnya yang akan kulakukan adalah menutup mataku. Berusaha untuk tidur
meski belum mengantuk, rasanya begitu sulit.
Malam
itu sangat dingin. Perlahan kubuka mata. Rupanya listrik yang mati sudah
menyala. Aku melirik jam dinding yang ada di sebelahku. Betapa terkejutnya aku
ketika tahu bahwa sekarang masih pukul 21.00 WIB. Berarti aku tadi hanya tidur
sebentar, tetapi rasanya begitu lama.
“Ugh,
kayanya yang tadi aku katakan memang benar. Malam ini memang menjadi malam yang
panjang.” Aku memegang kepala.
Ketika
akan berbaring lagi, aku mendengar suara ketukan dan samar-samar suara orang
juga. Entah apa yang dibicarakan orang itu. Dengan cepat kutarik kembali
selimut lalu menutup mata. Langkah kaki seseorang terdengar berjalan
mendekatiku.
“Huft,
Tuhan apa lagi ini?" tanyaku samar.
Suara
bisikan dan orang mengetuk tanpa henti. Aku semakin takut dengan semua ini.
Entah mengapa malam ini sangat aneh. Aku biarkan orang itu mengetuk tanpa
henti. Akan tetapi aku masih merasa takut kalau-kalau itu ternyata pocong
keliling, kuntilanak, atau mungkin hantu yang lainya. Gigiku gemeretak. Udara
begitu dingin. Jam menunjukkan pukul 21.30 WIB. Namun, masih terasa begitu
lama. Jam seperti berjalan pelan.
Mendengar lagi suara aneh itu membuatku terbangun. Lampu kamar yang tadinya
menyala tiba-tiba mati.
“Aduh
... gelap lagi,” resahku.
Saat
aku mulai menutup mata, Tembang Lingsir Wengi terdengar sangat jelas, nyaring
pula. Aku mulai merinding. Jantungku berdetak semakin kencang, ingin rasanya
tak sadarkan diri sambil menunggu hari esok. Namun, suara itu seperti terdengar
dari sebuah benda. Bukankah gawaiku ini sudah mati?
Belakangan
ini sedang simpang siur kabar tentang tembang tersebut. Konon untuk memanggil
makhluk halus. Mataku ingin menangis. Hatiku sudah berteriak kencang dari tadi.
Namun sayang, aku tidak bisa apa-apa.
“Papa!
Mama! Cepetan pulang. Kayaknya ini hari kematianku, hari terakhir aku hidup di
dunia ini," kataku frustrasi.
Aku
pasrah dengan semua ini. Mungkin ini adalah hari kematianku. Aku mulai
mengaitkan hal-hal yang aku alami. Mulai dari gawaiku yang mati, kakek di depan
rumah itu. Sampai Tembang Lingsir Wengi yang belum berhenti diputar. Aku
langsung pindah dan duduk di sudut kamar. Dengan perasaan sangat takut. Suara
orang berbisik juga masih terdengar. Tiba-tiba suara benda jatuh terdengar.
Aku
terkejut, dadaku naik turun dan keringat dingin sudah membasahi tubuhku. Dari
arah dapur. Aku sangat takut dan masih mengira itu adalah hantu.
"Aw,
sa–kit ...,” rengekku memeluk tubuh sendiri saat merasa seluruh tubuh seperti
ditusuk-tusuk. Badanku mengigil. Ingin rasanya aku mati saja.
“
Ya Tuhan ... engkau berikan cobaan apa lagi ini? Sepertinya ini akan menjadi
malam terburuk dan terakhirku," ucapku dengan frustrasi.
Lagi-lagi
jam terasa berdetik pelan. Sekarang jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku
masih terpaku di sudut kamar, bingung dengan semua ini.
Klontang!
Aku
kaget benda itu terjatuh lagi. Aku penasaran sebenarnya benda jatuh itu apa. Waktu
aku berpikir tiba-tiba ada seorang yang berbicara. Kemudian di depan pintu
kamarku ada seorang yang berjalan ke arah dapur.
Srek!
Srek! Srek!
Aku
mencoba untuk terbangun dan melihat. Lalu memberanikan diri walaupun aku itu
sangat takut. Dengan perasaan campur aduk, aku berjalan pelan. Lalu membuka
pintu kamar.
Krieet!
“Siapa
itu? Apa ada orang? Hei, dengar tidak? Ada orangkah?" tanyaku, "Sudahlah
tak ada orang sama sekali.” Bulu kudukku masih berdiri, jantung berdetak
kencang. Aku langsung kembali ke kamar. Kembali diam di sudut kamar. Aku
terdiam seketika.
Sebuah
suara terdengar samar. "Oh, tidak, bunyi perutku, dari tadi aku belum
makan, cuman setelah istirahat saja,” resahku. Aku pun tak tahu harus melakukan
apa dengan kondisi seperti ini, apa lagi kini sudah larut malam.
Kulihat
sekitar kamar, tidak ada tanda-tanda makanan di kamar. Ketika aku sibuk
meneliti bagian kamar, tiba-tiba terdengar sebuah benda jatuh. Sudah berapa
kali di malam ini, tidak bisa dipungkiri. Mungkin rumah ini sudah angker,
pikirku ke mana-mana. Aku merasa semakin takut saja dengan keadaan ini, ingin
rasanya aku mati saja.
"Ya
Allah, apalagi ini!" pekikku.
Jam
menunjukkan pukul 22.30 WIB. Dari tadi kejadian-kejadian itu terulang, aku sangat
takut. Entah Papa dan Mama ke mana belum pulang-pulang jam begini. Aku merasa
kesepian. Ini sudah larut malam. Dari sudut kamar aku kembali menghempaskan
badanku ke kasur. Cepat-cepat kutarik selimut dan menutupkan mataku ini.
Walaupun Tembang Lingsir Wengi belum juga berhenti dari tadi. Lagi pula suara bisikkan
orang bicara semakin jelas di telingaku.
“Ah!
Sudahlah aku takut ....” Badanku menggigil. Aku pasrah dengan semua ini dan aku
sudah yakin kalau hari ini adalah hari kematianku. Ditinggal sendirian dalam
kesepian, jam terasa sangat lama. Aku pun juga tak tahu mau berbuat apa dengan
semua ini.
“Ya
Allah, kenapa malam ini penuh
kejadian-kejadian aneh tidak seperti biasa, mau tidur pun susah,” gumamku.
Seiring
malam yang begitu dingin ini dan sudah larut malam. Lagi-lagi waktu aku membuka mata ini anehnya itu pun
terdengar sangat jelas Tembang Lingsir Wengi mendekat ke kamarku.
“Hiks!
Hiks!” Pelupuk mataku sudah tak tahan lagi membendung air mata.
Anehnya,
setelah aku menangis, terdengar suara-suara tawa begitu keras. Namun, setelah
kuamati suara itu pun seperti aku kenali sekali. Tak lama, lampu menyala
bertepatan Tembang Lingsir Wengi berhenti, jam sudah menunjukkan pukul 00.00 WIB.
Aku
melihat pintu kamarku dibuka, alangkah terkejutnya aku. Rupanya itu adalah
Papa, Mama, Kak Ros, kedua adikku, dan sahabat-sahabatku. “Happy birthday to
you ... happy birthday to you ... happy birthday ... happy birthday, happy
birthday to you .... Happy milad Chelsi ... selamat ulang tahun!” Mereka
begitu bahagia dan senang menyanyikan lagu itu. Aku yang tadinya menangis dan
akan pasrah dengan hari ini menjadi tertawa.
Kak
Ros menyodorkan sebuah roti berbentuk hati dengan tiga tangkai lilin menyala di
atasnya. “Tiup lilinya Chelsi!” Aku mengangguk. Dengan perasaan yang begitu
senang, aku meniup lilinnya. Namun, sebelumnya aku berdoa agar keinginanku bisa
terwujud. Aku meniup lilin itu satu-persatu, semua akhirnya mati. Aku memandang
wajah mereka. Tak kusangka ternyata ini semua adalah kejutan mereka. Aku pun
baru ingat kalau ini adalah hari ulang tahunku. Aku pikir malam ini adalah
malam terakhirku, ulah mereka sangat membuatku takut. Namun di sisi lain,
mereka yang membuat aku tertawa.
“Makasih,
semua!” ucapku memeluk mereka satu-satu.
“Oh
iya, Kak Ros, Papa, Mama , David, Vian, Zahra, Dinda , sama Dian datang kesini
sekitar jam sembilan, ya? Ngapain ngetuk-ngetuk pintu?” tanyaku.
“Enggak,”
Mereka menjawab dengan kompak.
“Dari
tadi, tuh, kita nggak merasa ngetuk pintu,” kata Zahra.
“Iya,
bener kata Zahra, ngapain juga ngetuk-ngetuk pintu? Kita, kan, bisa lewat pintu
belakang. Kalau pintu depan dikunci. Kalau kita lewat pintu depan sekitar jam 9
ada suara mobil. Tadi nggak ada, kan, suara mobil?” jelas Dinda.
Kemarin
memang benar-benar hari yang tak terlupakan sekali. Tadi pagi aku bertemu dengan
pak Budi. Pemilik rumah depan. Oh ternyata tadi malam yang mengetuk pintu tanpa
henti adalah beliau. Pak Budi mengantarkan undangan syukuran karena ayahnya
pulang dari Amerika. Ayah pak Budi ke sini tinggal bersamanya karena istrinya
sudah meninggal. Pak Budi sebagai anak pertama berniat untuk mengurus ayahnya tersebut.
Semalam kakek-kakek yang berdiri di depan rumah memakai baju asap itu adalah ayah
dari pak Budi.
***
Hari
ini ketiga sahabat-sahabatku memutuskan untuk semalam tidur di rumahku.
“Eh,
tolong AC-nya dimatiin aja dulu saran aku, sih, pakai AC alami aja,” saran Dian. Aku menganggukkan kepala lalu segera
membuka tirai dan jendela kamar.
Lagi-lagi
aku terkejut melihat kakek-kakek berdiri di lantai dua rumah depan. “Dia siapa?”
Aku merasa heran.
“Eh
... eh ... kalian, lagi-lagi aku lihat ada kakek-kakek yang di lantai dua depan
rumah pak Budi! Tapi beda sama ayahnya Pak Budi!” seruku sambil mengempaskan
badan ke kasur. Zahra, Dinda, dan Dian penasaran lalu melihatnya.
Dinda
tertawa, “Haha ... itu, mah, kakek aku, Chelsi.”
“Hah?
Sejak kapan kakek kamu itu tinggal di sini?” tanyaku memastikan.
“Oh,
itu sejak kemarin, aku lupa cerita ke kalian, ya?” ucap Dinda.
Aku menggeleng-gelengkan kepala, bingung. Mungkin masih terpikir kejadian malam tadi. Pengalaman yang tak bisa terlupakan. Aku merasakan kebahagiaan. Tak menyangka walaupun semalam sangat mengerikan bagiku, membuat frustrasi. Namun, berujung kebahagiaan.
Penulis: Firnanda Aulia Dian Arimbi
editor: A.N. Atmadja